Kamis, 16 Januari 2014

Tugas acara agama hindu

1. Pendahuluan
 Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang tidak akan punah, sedangkan harta benda itu tidak kekal. Pustaka Nitisastra. II.5 mengatakan” Tidak ada sahabat yang melebihi pengetahuan yang tinggi manfaatnya, tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada nafsu jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta orang tua kepada anaknya. Tidak ada kekuatan yang melebihi nasib, karena ia tidak terhindarkan dan tak tertahankan oleh siapa pun juga”   
            Dalam Pustaka Slokantara. 55 disebutkan bahwa,” Pengetahuan itu bersinar di wajah orang bijaksana mengalahkan sinar Surya. Orang bodoh itu tidak ada bedanya dengan tumbuhan menjalar yang kering terkena sinar matahari. Pengetahuan itu adalah obor dalam jalan kehidupan”. Tetapi yang paling menentukan ialah watak manusia sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Sarasamuscchaya.356,” Ilmu pengetahuan itu akan sia-sia dan lenyap kesucian dan kemanfaatannya kalau dimiliki oleh orang jahat, seperti air yang berada pada tulang tengkorak mayat. Betapakah mungkin akan suci dan bermanfaat, malah akan membahayakan jika ilmu itu  ada pada orang yang berbudi rendah.
            Akan lebih berbahaya orang jahat yang pintar daripada orang jahat yang bodoh. Dan pembentukan watak manusia ini menurut Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan dengan Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir). Pelaksanaannya diwujudkan dengan upacara yang disebut Magedong-gedongan (cara di Bali), atau Mitu Bulanin (cara di Jawa), atau Garbhadhana (cara di India).  Malah pembentukan watak itu sudah dimulai ketika bapak ibu mengadakan senggama yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan anak yang baik.
            Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memberikan pendidikan kepada anak sebelum ia terlahir ke dunia. Hal ini tentu tidak mungkin dilaksanakan apalagi dilakukan secara langsung. Namun, hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni dengan mengatur perikehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, yang melalui perasaan sang ibu akan berpengaruh pada watak si jabang bayi. Jadi yang dimaksud dengan Prenatal Education ialah mendidik disiplin ibu bapak dan orang-orang di sekitarnya.
            Ada yang percaya bahwa apabila menghendaki anak yang tampan atau cantik, maka sering-seringlah melihat hal-hal yang bagus atau indah, tidak mengenang hal-hal yang buruk. Selain itu, selama hamil hendaknya si calon ibu itu diberikan ajaran-ajaran agama dengan menekankan pelajaran tata susila. Karena apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh sang ibu, akan dirasakan  juga oleh si jabang bayi tersebut. Hal ini senada pula dengan hasil penelitian dari Prof. Lee Salk, dari New York. Ia merekam dengan tape recorder denyutan jantung seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia membunyikan musik indah maka hasil rekaman denyut jantung menjadi berbeda, menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi dalam kandungan menunjukkan reaksi karena ia berhasil mendengarkan sesuatu yang datang dari luar gua garbha.
Hasil penelitian yang lain diperkenalkan oleh George Losanov, seorang pendidik Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “sugestology” atau “sugestopedia”, yakni Quantum Learning. Prinsip utama metode ini sugesti dapat dan pasti mempengaruhi anak didik, baik secara positif maupun negatif dalam hasil belajarnya. Dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sugesti positif, maka respons positif anak didik akan meningkat. Teori ini pun dapat diberlakukan dalam pendidikan prenatal. Misalnya saja dengan memperlakukan ibu yang sedang mengandung dengan baik, yakni memperhatikan/memenuhi kebutuhannya dengan sewajarnya, menumbuhkan perasaan merasa disayang, diperhatikan, perasaan nyaman, dan sebagainya akan memberikan kesan positif pada jiwa si ibu yang kemudian mengalir pada jiwa anak yang dikandung.
Quantum Learning bahkan bisa mensugesti kerja otak kanan. Proses kerja otak kiri yang selalu bersifat logis, sekuensial, linear, dan mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, serta cara berpikirnya yang sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, mendapatkan detail dan fakta. Dan fonetik dapat disesuaikan dengan cara berpikir otak kanan yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi.
Disamping itu, penanaman pendidikan (jiwa) agama pada anak sudah dapat dimulai saat anak dalam kandungan. Misalnya, dengan cara ibu rajin membuat sesajen, rajin sembahyang (berdoa), membaca buku-buku agama dan sebagainya. Dengan demikian, jiwa agama ini akan tertanam dan merasuk pada anak sejak awal, yang nantinya dijadikan pedoman (pola anutan) dalam bertingkah laku selama mengarungi kehidupannya. Anak yang masa kecilnya tidak mendapat didikan dan pengalaman agama, maka kelak ia akan menjadi orang yang acuh tak acuh terhadap agama dan cenderung mempunyai sifat negatif. “Sebaiknya jiwa agama itu mulai ditanamkan ketika bayi masih dalam kandungan, yaitu yang dikenal dengan upacara magedong-gedongan. Hal ini penting karena bayi sejak dalam kandungan sudah peka terhadap getaran-getaran tertentu”( Ni Putu Suwardini, blog 2000).
            Kenang-kenangan yang tidak dapat dilupakan oleh seseorang anak sampai akhir hayatnya adalah kasih sayang seorang ibu yang diterimanya sejak masih dalam kandungan, sampai ia dapat berdiri sendiri, secara sadar maupun di bawah sadar. Kasih sayang ibu sejak bayi masih dalam kandungan serta air susu ibu yang diterimanya setelah lahir adalah unsur-unsur yang sangat penting yang merupakan penentu kehidupan seorang anak. Hal ini juga disebutkan dalam kitab Slokantara. 52,” Di waktu malam, Dewi Ratih atau bulanlah yang menjadi lampu alam, Di waktu siang, Dewa Surya atau matahari lah yang menjadi lampu dunia, Dan di ketiga alam, Dharmalah yang menjadi lampunya. Sedangkan dalam suatu keluarga, putra-putri yang baik adalah menjadi cahaya lampunya”.
Dengan demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah mengherankan kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan spiritual putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara Magedong-Gedongan atau Mitu Bulanin tadi hingga ia mencapai dewasa. Karena melaksanakan suatu upacara Yadnya ini merupakan suatu keharusan untuk penyucian diri sebagaimana halnya disebutkan dalam dalam Manawa Dharmasastra. II .26 yang menyatakan bahwa,
 “ Waidikaih karmabhih punyair
  Nisekadirdwijanmanam
  Karyah sarira samskarah pawanak pretya ceha ca
  Pawanah pretya ceha ca”
Terjemahan :
            Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi perbuahan dalam rahim ibu serta upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal.

tugas tata susilaa

TATA SUSILA
Ucapan Yang Terkontrol
Madhumanme nikramanam
Madhumanme parayanam,
Vaca vadani madhumad
Bhuyasam madhusamdrsah (Atharwa Weda 1.34.3)
Terjemahan :
            Oh Tuhan! Ke mana pun kepergian dan di mana pun kedatangan saya menjadi manis dan apa pun yang saya ucapkan hendaknya juga lemah lembut dan saya sendiri menjadi simbol dari kelemah lembutan itu.

ketahanan nasional

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KETAHANAN NASIONAL
SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA DI BALI
A.   Pengertian Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah :perihal tahan (kuat), keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan nasional suatu bangsa yang telah menegara. Ketahan nasional merupakan kondisi dinamik suatu bangsa, berisi keulutan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, gangguan baik yang dating dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya.

Lontar Wrhaspati tattwa

Kajian Lontar Wrhaspati Tattwa

I           Pendahuluan
             Wrhaspati Tattwa adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sansekertanya disusun dalam bentuk sloka dan Bahasa Jawa Kunonya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika pengendalian diri mengambil ajaran yoga.
          Secara etimologi Vrhaspati tattwa berasal dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati adalah nama seorang bhagawan di sorga,,hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
          Irikang kala bana sira wiku ring swarga
          Bhagawad Whraspati ngaran ira
          Sira ta maso mapuja di Bhatara.

Terjemahannya:
Pada saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja Hyang Iswara ( Putra dkk, 1998 : 1 ).

          Kemudian menurut Watra (2007 : 1) Tatwa berasal dari bahasa sansekerta. Tattwa memiliki berbagai pengertian seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati Tattwa berarti ajaran kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari Bhagawan Wrhaspati.
          Wrhaspati Tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di Bali adalah Dewa yang menempati arah timur. Iswara tidak lain adalah aspek dari Siwa sendiri. Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Hyang Iswara berstana di puncak Gunung Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga. Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang Siwa kepada Bhagawan Wrhaspati dengan metode tanya jawab.
            Ajarannya ini diterjemahkan dalam 74 sloka berbahasa Sansekerta yang di terjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno. Wrhaspati Tattwa merupakan naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya dirangkum dalam suatu mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaranitu dimengerti.Mengingat ajaran filsafat atau Tattwa yang tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti

Sesayut Sidha Karya dan Sidha Purna

                                                                        Nama: -   Ni Kadek Budiantari (10.1.1.1.1.3895)
-     Luh Ari Liani             (10.1.1.1.1.3880)
Kelas: PAH B V

Siva Sidhanta II
Makna dan Penggunaan
Banten Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna

Pengertian Sesayut
            Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
            Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya.
            Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah. 
            Dalam banten sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna.

Tugas Makna Daksina

                                                                                    Nama   : Ni Kadek Budiantari
                                                                                    Nim     : 10.1.1.1.1.3895
                                                                                    Kelas   : PAH B V

Siva Sidhanta II
Makna Filosofis Banten Daksina

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8IvfSWhsExBAPYWH17IoY7nD2YH-er8hjW-U_7exK6WZjnh1861C8ZF8aoSVsesuvil_jIvADjGygs3vQxzCzSgVCpkB5_jmiD_KuokTtWUoxWs7M_j6eG13PwdIfmPf4zbcubpm_MX0J/s320/daksina_offering.jpgDaksina disebut Juga "Yadnya Patni" yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.

TUGAS SIVA SIDHANTA


Nama   : Ni Kadek Budiantari
Nim     : 10.1.1.1.1.3895
Kelas   : PAH B V

Siva Sidhanta II
Makna Canang Sari dan Hubungannya dengan
Penyatuan Konsep Siva Sidhanta di dalamnya

Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang Sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu di Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista = inti). Canang sari disebut terkecil namun inti karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi canang sari.
Canang Sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang Sari juga mengandung salah satu makna symbol bahawa Weda untuk memohon kekuatan Widya (pengetahuan) kehadapan Sang Hyang Widhi untuk Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Canang berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan atau maksud (bhsa Kawi/Jaw Kuno). Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara sekala maupun niskala ( http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2012 pukul 12.23 Wita)