Kamis, 16 Januari 2014

Tugas acara agama hindu

1. Pendahuluan
 Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang tidak akan punah, sedangkan harta benda itu tidak kekal. Pustaka Nitisastra. II.5 mengatakan” Tidak ada sahabat yang melebihi pengetahuan yang tinggi manfaatnya, tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada nafsu jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta orang tua kepada anaknya. Tidak ada kekuatan yang melebihi nasib, karena ia tidak terhindarkan dan tak tertahankan oleh siapa pun juga”   
            Dalam Pustaka Slokantara. 55 disebutkan bahwa,” Pengetahuan itu bersinar di wajah orang bijaksana mengalahkan sinar Surya. Orang bodoh itu tidak ada bedanya dengan tumbuhan menjalar yang kering terkena sinar matahari. Pengetahuan itu adalah obor dalam jalan kehidupan”. Tetapi yang paling menentukan ialah watak manusia sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Sarasamuscchaya.356,” Ilmu pengetahuan itu akan sia-sia dan lenyap kesucian dan kemanfaatannya kalau dimiliki oleh orang jahat, seperti air yang berada pada tulang tengkorak mayat. Betapakah mungkin akan suci dan bermanfaat, malah akan membahayakan jika ilmu itu  ada pada orang yang berbudi rendah.
            Akan lebih berbahaya orang jahat yang pintar daripada orang jahat yang bodoh. Dan pembentukan watak manusia ini menurut Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan dengan Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir). Pelaksanaannya diwujudkan dengan upacara yang disebut Magedong-gedongan (cara di Bali), atau Mitu Bulanin (cara di Jawa), atau Garbhadhana (cara di India).  Malah pembentukan watak itu sudah dimulai ketika bapak ibu mengadakan senggama yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan anak yang baik.
            Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memberikan pendidikan kepada anak sebelum ia terlahir ke dunia. Hal ini tentu tidak mungkin dilaksanakan apalagi dilakukan secara langsung. Namun, hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni dengan mengatur perikehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, yang melalui perasaan sang ibu akan berpengaruh pada watak si jabang bayi. Jadi yang dimaksud dengan Prenatal Education ialah mendidik disiplin ibu bapak dan orang-orang di sekitarnya.
            Ada yang percaya bahwa apabila menghendaki anak yang tampan atau cantik, maka sering-seringlah melihat hal-hal yang bagus atau indah, tidak mengenang hal-hal yang buruk. Selain itu, selama hamil hendaknya si calon ibu itu diberikan ajaran-ajaran agama dengan menekankan pelajaran tata susila. Karena apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh sang ibu, akan dirasakan  juga oleh si jabang bayi tersebut. Hal ini senada pula dengan hasil penelitian dari Prof. Lee Salk, dari New York. Ia merekam dengan tape recorder denyutan jantung seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia membunyikan musik indah maka hasil rekaman denyut jantung menjadi berbeda, menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi dalam kandungan menunjukkan reaksi karena ia berhasil mendengarkan sesuatu yang datang dari luar gua garbha.
Hasil penelitian yang lain diperkenalkan oleh George Losanov, seorang pendidik Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “sugestology” atau “sugestopedia”, yakni Quantum Learning. Prinsip utama metode ini sugesti dapat dan pasti mempengaruhi anak didik, baik secara positif maupun negatif dalam hasil belajarnya. Dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sugesti positif, maka respons positif anak didik akan meningkat. Teori ini pun dapat diberlakukan dalam pendidikan prenatal. Misalnya saja dengan memperlakukan ibu yang sedang mengandung dengan baik, yakni memperhatikan/memenuhi kebutuhannya dengan sewajarnya, menumbuhkan perasaan merasa disayang, diperhatikan, perasaan nyaman, dan sebagainya akan memberikan kesan positif pada jiwa si ibu yang kemudian mengalir pada jiwa anak yang dikandung.
Quantum Learning bahkan bisa mensugesti kerja otak kanan. Proses kerja otak kiri yang selalu bersifat logis, sekuensial, linear, dan mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, serta cara berpikirnya yang sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, mendapatkan detail dan fakta. Dan fonetik dapat disesuaikan dengan cara berpikir otak kanan yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi.
Disamping itu, penanaman pendidikan (jiwa) agama pada anak sudah dapat dimulai saat anak dalam kandungan. Misalnya, dengan cara ibu rajin membuat sesajen, rajin sembahyang (berdoa), membaca buku-buku agama dan sebagainya. Dengan demikian, jiwa agama ini akan tertanam dan merasuk pada anak sejak awal, yang nantinya dijadikan pedoman (pola anutan) dalam bertingkah laku selama mengarungi kehidupannya. Anak yang masa kecilnya tidak mendapat didikan dan pengalaman agama, maka kelak ia akan menjadi orang yang acuh tak acuh terhadap agama dan cenderung mempunyai sifat negatif. “Sebaiknya jiwa agama itu mulai ditanamkan ketika bayi masih dalam kandungan, yaitu yang dikenal dengan upacara magedong-gedongan. Hal ini penting karena bayi sejak dalam kandungan sudah peka terhadap getaran-getaran tertentu”( Ni Putu Suwardini, blog 2000).
            Kenang-kenangan yang tidak dapat dilupakan oleh seseorang anak sampai akhir hayatnya adalah kasih sayang seorang ibu yang diterimanya sejak masih dalam kandungan, sampai ia dapat berdiri sendiri, secara sadar maupun di bawah sadar. Kasih sayang ibu sejak bayi masih dalam kandungan serta air susu ibu yang diterimanya setelah lahir adalah unsur-unsur yang sangat penting yang merupakan penentu kehidupan seorang anak. Hal ini juga disebutkan dalam kitab Slokantara. 52,” Di waktu malam, Dewi Ratih atau bulanlah yang menjadi lampu alam, Di waktu siang, Dewa Surya atau matahari lah yang menjadi lampu dunia, Dan di ketiga alam, Dharmalah yang menjadi lampunya. Sedangkan dalam suatu keluarga, putra-putri yang baik adalah menjadi cahaya lampunya”.
Dengan demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah mengherankan kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan spiritual putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara Magedong-Gedongan atau Mitu Bulanin tadi hingga ia mencapai dewasa. Karena melaksanakan suatu upacara Yadnya ini merupakan suatu keharusan untuk penyucian diri sebagaimana halnya disebutkan dalam dalam Manawa Dharmasastra. II .26 yang menyatakan bahwa,
 “ Waidikaih karmabhih punyair
  Nisekadirdwijanmanam
  Karyah sarira samskarah pawanak pretya ceha ca
  Pawanah pretya ceha ca”
Terjemahan :
            Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi perbuahan dalam rahim ibu serta upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal.

2. Upacara Magedong-Gedongan
            . Magedong-gedongan berasal dan kata “gedong” yang berarti gua garbha. Gua artinya pintu yang dalam atau pintu yang ada di dalam, garbha artinya perut. Jadi, gua garbha artinya pintu yang dalam, berada pada perut si ibu. Dalam hal ini yang dimaksud kehidupan pertama itu adalah si Bayi. Untuk keselamatan bayi dalam perut ibu inilah dilakukan upacara magedong-gedongan. Upacara magedong-gedongan adalah upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan yang berumur sekitar enam bulan. Upacara megedong-gedongan ini dilaksanakan dengan maksud “pembersihan”, pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya disertai pula dengan pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang berguna di masyarakat dan dapat memenuhi harapan orang tuanya. Fungsi upacara magedong-gedongan adalah sebagai penyucian terhadap bayi. Secara lahiriah, upacara ini bermaksud memperkuat kedudukan bayi dalam kandungan agar tidak gugur (abortus), dan secara bathiniah agar sang bayi berbathin kuat sehingga setelah lahir dan besar nanti menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, khususnya di Bali, upacara sebelum bayi itu lahir hanya dilakukan satu kali yaitu magedong-gedongan atau mitu bulanin. Tetapi pada pemeluk Hindu di India ada tiga macam upacara yang dilakukan.
            Upacara pertama dinamai Garbhalambhana yaitu upacara yang dilakukan setelah diketahui terjadinya konsepsi, pertemuan antara sperma suami dengan ovum sang ibu. Tetapi karena agak sulit mengetahui pertemuan ini dan adanya kemungkinan untuk gagal sebelum bertumbuh, maka lama-kelamaan upacara ini ditinggalkan.
            Setelah konsepsi terjadi selama empat bulan, yaitu pada waktu jabang bayi mulai membuat gerakan awal, ada upacara kedua yaitu yang disebut Pungsawana, artinya dengan harapan bayi laki-lakilah yang akan lahir. Memang dari zaman dahulu, keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki lebih dominan karena dengan adanya anak laki-laki, keamanan keluarga akan lebih terjamin. Selain itu, karena pada zaman dahulu, perjuangan untuk hidup itu perlu dipertahankan mengingat strunggle for life itu sangat menentukan.
            Kemudian, setelah jabang bayi berumur tujuh bulan, upacara Garbhadhana dilakukan. Karena pada saat itu dianggap sudah ada ada hubungan badaniah dan kejiwaan antara ibu dengan bayinya di kandungan. Di India upacara ini juga dinamakan Simantonnayana karena ada upacara penyisiran rambut sang ibu oleh suaminya untuk menghindari kekuatan-kekuatan negatif yang mungkin mengganggu kesehatan ibu dan anak itu.
            Di Nusantara khususnya  di Bali upacara bayi dalam kandungan hanya dilakukan satu kali yaitu yang disebut dengan upacara magedong-gedongan.  Upacara magedong-gedongan ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Upacara ini dilakukan setelah kandungan berumur lebih dari enam bulan, karena  menurut Lontar Kuna Dresthi kehamilan yang berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi upakara manusa  yadnya. Tujuan upacara adalah untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat.
            Adapun upacara pagedong-gedongan itu pada pokoknya terdiri atas : byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita, pagedong-gedongan, sesayut pengambean atu sesayut pemanahayu tuwuh. Banten pagedong-gedongan ini merupakan simbolik dari perut ibu, yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti simbolik, agar kandungan si ibu menjadi selamat, dan peliharaan keselamatan si bayi menjadi kuat nidasi, serta selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat kelahirannya nanti.
3. Kelahiran Bayi
            Dr. Gardner dan Jewans dal;am bukunya Greek Antiquitus menulis bahwa,” kelahiran bayi itu adalah merupakan kejadian yang sangat mengesankan bagi orang-orang di zaman dahulu. Karena keindahannya maka dianggaplah kejadian itu sebagai hal yang super-human. Dipercayainya pula bahwa suasana itu mengundang banyak bahaya sehingga untuk menghindarinya bermacam-macam tabu dan larangan diajukan”.
            Dalam ungkapan Bali dikatakan bahwa pada saat melahirkan itu “jiwa sang ibu seolah-olah tergantung pada sehelai rambut” yang setiap saat bisa putus yang menyebabkan putus pulalah jiwanya. Dalam Pustaka Atharwa Weda, Sukta 11, ada 6 sloka yang berupa doa yang berhubungan dengan kelahiran bayi agar bisa cepat dan selamat lahirnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, janin yang ada di dalam kandungan dipelihara dan dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya berupa bajra, gada, mentang nagapasa, dan cakra. Pada saat anak lahir, ia ditemani oleh empat saudaranya yang disebut dengan Catur Sanak, yaitu:
1). Yeh nyom (air ketuban) adalah merupakan cairan yang melindungi si bayi dari getaran luar maupun dalam, rupanya berbentuk cairan atau disebut juga air ketuban. Setelah pecah air ketuban si bayi lahir diikuti  ari-ari.
2). Tamas/lamad berupa lemak yang membungkus dan melindungi badan bayi.
3). Darah/getih yang berfungsi mengedarkan sari-sari makanan dari ibu ke bayi melalui tali pusar.
4). Ari-ari, tempat melekatnya tali pusar yang berfungsi menyerap makanan.
Dari penjelasan di atas telihat bahwa ari-ari memegang peranan yang penting dalam kelangsungan hidup si jabang bayi, untuk itulah, pada saat bayi lahir, ari-ari mendapat perlakuan khusus dan harus dibersihkan setelah lahir.
Setelah si bayi lahir, ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagian kecil/sedikit menempel pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari (berbeda pada masing-masing bayi), kemudian ari-ari tersebut dikubur atau dalam masyarakat Bali disebut dengan nanem ari-ari.
Dalam upacara nanem ari-ari, selain menggunakan sarana upacara juga dipanjatkan doa dengan mantra-mantra. Salah satu mantra yang sering diucapkan yaitu:
“Om sang Ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, anget merthaning sarwa tumuwuh si bayi, mangdene dirgayusa nutug tuwuh”
Terjemahan:
            Atas karunia Ida sang hyang Widhi serta Ibu Pertiwi yang merupakan sumber tenaga/energi, yang menghidupkan dan memberi makanan bagi seluruh makhluk hidup, kami mohon agar si bayi mendapatkan usia panjang sampai usia tua.
            Sesuai dengan isi doa yang digunakan dalam upacara tersebut, maka fungsi upacara tersebut adalah untuk mengembalikan ari-ari tersebut kepada alam/ibu pertiwi setelah selama si bayi dalam kandungan dan telah selesai melaksanakan tugasnya untuk menjaga si bayi dan setelah menyatu dan kembali kepada alam, ia akan tetap menjaga si bayi dalam manifestasinya yang lain menurut keyakinan masyarakat hindu di Bali. 
            Kembali pada soal Jatakarma (kelahiran bayi), ada perbedaan antara umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali dengan umat Hindu di India. Di Bali, ucapan doa Atharwa Weda tidak dipakai tetapi diganti dengan sesaji. Sedangkan di India masih mempergunakan mantra tersebut serta ritual-ritual lain yang bertujuan memohon keselamatan bagi bayi serta ibunya.
Upacara Jatakarama (kelahiran bayi) ini juga disebutkan dalam kitab suci,  
Garbhairhomairjatakarma
            Caudamaunjini bandhanah
            Baijikam garbhikam caino
            Dwijanamapamrijyate (Manawa Dharmasastra. II. 27)

Terjemahan :
            Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu sang ibu hamil, dengan upacara jatakarma atau bayi baru lahir, upacara cauda (gunting rambut pertama) dan upacara maunji bandhana (upacara memberi kalung) maka kekotoran yang didapat dari orang tua akan terhilang dari Tri Wangsa.
Pranabhi vardhanat pusmo
            Jatakarma vidhiyate,
            Mantravat prasanam casya
            Hiraniyamadhu sarpisam. (Manawa Dharmasastra II. 29)
           
Terjemahan:
            Sebelum tali pusar dipotong, upacara jatakarma (upacara baru lahir) harus dilakukan untuk bayi laki-laki, dan sementara mantra-mantra suci diucapkan harus diberi makan madu dan mentega dengan sendok emas.
            Upacara Jatakarma (kelahiran bayi) dilaksanakan sebelum “tali puser” (navel) bayi itu terputus yang disebut  pemapag rare. Tujuan upacara Jatakarma ada tiga macam, yaitu:


(1). Medha-Jnana
            Medha Jnanna merupakan upacara untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak. Oleh ayahnya, pada waktu upacara itu, bayi itu diminumi sesendok kecil madu dan kalau ada minyak dari susu. Di telinga kiri bayi itu ayahnya mengucapkan mantra Gayatri. Tujuan semua ini agar bayi itu tumbuh dengan kecerdasan yang tinggi, rupa yang bagus, serta kesehatan yang baik karena unsur madu dan minyak susu itu merupakan simbol kecerdasan, wajah dan kesehatan.
(2).  Ayusya
            Ayusya yaitu upacara untuk umur panjang bagi bayi itu. Pada telinga kanan, bapaknya mengucapkan mantra yang isinya menyatakan antara lain;” Api adalah berumur panjang, melalui Dewa Api memohon kepada Tuhan agar anak itu dianugrahi umur panjang,: air adalah berumur panjang, melalui Dewa Air, memohon kepada Tuhan agar anak itu dianugerahi umur panjang, begitu seterusnya denngan menyebutkan sarana-sarana yang umurnya panjang, memohon panjang umur kepada Tuhan.
(3).Kekuatan
            Kekuatan juga dimohonkan dengan pengucapan mantra-mantra kehadapan Tuhan, antara lain : Anggad-anggad sambhawasi hrdayadadhijayase, atma wai putranabhasi sajiwa saradah bhawa. Terjemahan: Jadikanlah sekuat batu, jadikanlah sekuat besi baja, jadikanlah sekuat emas, anak kami, ya Tuhan, semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.
4. Setelah Bayi Lahir
            Pada umat Hindu di Bali, ada beberapa upacara terhadap bayi itu mulai dari berumur tiga hari, lalu berumur dua belas hari, lalu berumur empat puluh dua hari atau satu bulan tujuh hari. Upacara bayi berumur tiga hari disebut Kepus Puser (lepasnya puser bayi), karena memang biasanya puser atau navel itu akan lepas dalam tiga hari. Namun hal ini tidak bersifat tetap, karena ada bayi yang kepus puser dalam waktu lima atau tujuh hari Upacara ini juga disebut dengan upacara ngelepas Aon, yang artinya melepaskan puser itu dengan Aon (abu dapur). Sebutan ini dipakai karena di zaman dahulu melepaskan atau memotong tali puser itu dilakukan secara primitif yang kelihatannya tidak Hygenik. Untuk memotong tali puser itu terlebih dahulu puser itu digiling-giling dengan abu dapur yang dicampur dengan garam. Tali puser itu diikat dengan benang menjadi tiga ruas. Setelah tali puser itu menjadi lembut dan tipis lalu dipotong pada ruas yang kedua dengan sembillu (pisau dari bambu yang di Bali disebut ngaad) dengan beralaskan kunir sampai satu ruas sampai satu ruas dari ikatan puser yang lepas. Cara pemotongan ini nyatanya tidak menyebabkan infeksi walaupun dipotong dengan sembilu dengan bantuan abu dapur yang dicampur garam serta kunir. (Sudharta, Tjok Rai. 2006: 21-22)
            Ketika puser bayi telah lepas (kepus puser), puser si bayi dibungkus dengan secarik kain yang baru atau sukla lalu dimasukkan kedalam tipat kukur disertai dengan “anget-anget”, seperti mesui, sepet-sepet, jangu dan lain-lainnya. Kemudian di gantungkan di tempat tidur si bayi. Mulai saat itu si bayi dibuatkan “ kumara” (sebuah pelankiran) yang digantungkan di atas tempat tidur, sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Kumara atau sering juga disebut Sang Hyang Panca Kumara. Menurut mitoligi (Lontar Siwagama) Sang Hyang Kumara adalah salah satu putra Dewa Siwa. Untuk menyelamatkan Sang Hyang Kumara agar tidak bisa dibunuh oleh kakaknya yaitu Dewa Gana, maka Sang Hyang Kumara dikutuk oleh Dewa Siwa sehingga tetap menjadi kecil (bayi) dan di tugaskan sebagai pengasuh bayi (anak-anak) sampai berumur “ a-kupak” (meketus). 
            Upacara “Kepus Puser” dilaksanakan pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi. Dengan lepasnya tali puser secara jasmaniah si bayi sudah bersih (tidak ada yang menempel di pusernya seperti sebelumnya) dan secara rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh Catur Sanak.
Setelah bayi berumur 12 hari  diadakan upacara yang dinamakan Bajang Colongin atau ngerorasin, yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan Atman atau Roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu yang dipengaruhi oleh Saudara Empat atau Catur Sanak. Dengan Upacara ini diusahakan untuk membersihkan Catur Sanak itu selain memberi nama baru. Membersihkan dalam hal ini bukan berarti dihilangkan, karena menurut cerita rakyat tentang Ketatwaning Janma mengenai peranan Catur Sanak, pada saat bayi lahir, Catur Sanak lah yang membantu bayi keluar atas permintaan bayi tersebut yang meminta tolong kepada Catur Sanak agar membantunya keluar dengan selamat dan berjanji tidak akan melupakan Catur Sanak itu dalam hidupnya sampai dewa maut memanggilnya ke alam baka. Begitu pula dijelaskan dalam lontar Anggastyaprana yang menyebutkan si bayi telah berjanji tidak akan melupakan ke empat saudaranya itu apa bila ia ditolong untuk mencari jalan keluar atau lahir. Itulah sebabnya hubungan erat antara bayi sampai dewasa dengan Catur Sanaknya tidak boleh dilepaskan. Tempatnya boleh terpisah secara alamiah tetapi hubungan spiritual antara mereka tetap erat sehingga mereka dapat saling membantu jika diperlukan. Kalau ada upacara yang ditujukan untuk sang bayi, maka Catur Sanak itu tidak bisa dilupakan.
Pada saat upacara bayi berumur 12 hari atau disebut juga ngerorasin, saat dimana bayi itu disucikan dengan air penglukatan, hal yang sama harus dilakukan juga terhadap Catur Sanak itu. Dimana pada waktu baru lahir bersama bayi itu empat saudara itu bernama Bhuta Nyom, Bhuta Rah, Bhuta Ari-Ari dan Bhuta Tabunan maka setelah dibuatkan upacara ini namanya diganti menjadi : Angga Pati, raja Pati, Baras Pati dan Baras Pati Raja. Begitu pula pada bayi iu haruslah dibuatkan nama baru. Jadi, bagi umat Hindu di bali, pemberian nama untuk bayi kalau bayi itu sudah berumur 12 hari. Di India, pemberian nama itu disebut dengan Namakarana. Pada saat itu dinyalakan sejumlah lilin atau potongan lidi berisi kapas dibasahi dengan minyak yang disulut api (di Bali disebut linting. Jumlah linting ini sesuai dengan urip hari kelahiran bayi itu. Pada setiap linting digantungi daun rontal atau kertas yang ditulisi nama-nama yang disiapkan oleh orang tuanya. Api linting mana yang paling lama hidupnya atau padamnya paling akhir, maka nama yang tergantung pada linting itulah nama yang diberikan kepada bayi itu. Hal demikian dilakukan pada zaman dahulu. Sekarang, pemberian ataupun penambahan atau pergantian nama itu dilakukan tidak menurut ketentuan ini lagi. Begitu bayi lahir nama sudah disiapkan.
Tetapi di India pemberian nama itu sangat penting artinya karena nama itu bisa membawa kebaikan maupun kejelekan bagi yang memakainya.  Upacara pemberian nama itu disebut Namakarana yang dilakukan pada bayi berumur 10 atau 12 hari juga sebagaimana di Bali.
Kembali kepada upacara yang dilakukan umat hindu di Bali yang berumur 12 hari, ada yang menamakan upacara Bajang Colong. Dinamakan demikian karena ada sesajen yang ditujukan kepada Bajang Agung, Bajang Papah, Bajang Pusuh, Bajang Kuskusan, Bajang Kukugan dan lain-lainnya. Sebagaimana halnya dengan Catur Sanak, Bajang juga mempunyai peranan dalam membantu Catur Sanak dalam tugas memperlancar kelahiran sang bayi. Tetapi tugasnya sangat terbatas dan tugas itu selesai sampai waktu sang bayi berumur 12 hari. Kalau tidak diberi sesajen pada waktu 12 hari itu, sebagai upacara perpisahan, mereka (Bajang) bisa mengganggu si bayi. Bajang ini tidak mempunyai hubungan spiritual terhadap bayi, berlainan dengan halnya Catur Sanak yang bisa dimintai tolong kalau si bayi memerlukan lagi, kalau mendapat gangguan non fisik. Upacara bayi berumur 12 hari ini termuat dalam sastra yang menyatakan bahwa:
Namadheyam dasamyam tu
            Dvadasyam vasya karayet,
            Punye tithau muhurte va
            Naksatre va gunanvite (Manawa Dharmasatra II.30)
Terjemahan ;
Kemudian hendaknya orang tua melakukan upacara namadheya (upacara pemberian nama) pada umur 10 atau 12 hari setelah kelahirannya, atau pada waktu hari baik dalam kedudukan “mhurta” dibawah bintang-bintang yang membawa kebahagiaan.
Di beberapa daerah di Bali, setelah memperingati hari yang ke 12 dari kelahiran si bayi, akan dilakukanlah apa yang disebut “ ngaluang atau mepetuwun atau ngeluasan.” Maksudnya adalah untuk menanyakan kepada Dukun atau Balian yang bisa berhubungan atau menurunkan Sang Pitara, siapa kiranya yang menjelma kepada si bayi dan apa permintaannya.
Sejak bayi lahir, semua upacara ditujukan untuk keselamatan bayi karena berpisah dengan Catur Sanak dan Bajangnya. Setelah bayi itu berumur 42 hari (di Bali dinamai upacara satu bulan tujuh hari) barulah ada upacara yang ditujukan kepada bayi dan orang tuanya.  Upacara ini dinamakan Kambuhan. Kalau upacara terdahulu adalah membersihkan bayi dari kekotoran yang dibawa dari kandungan ibunya serta memisahkan dengan Catur Sanak dan Bajangnya, maka upacara Kambuhan ini adalah upacara pembersihan orang tua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya. Karena sebelum bayi berumur 42 hari, orang tua terutama sang ibu dianggap”kotor” sehingga belum diperkenankan masuk ke tempat suci. Mereka dianggap Cuntaka atau “kotor secara kejiwaan”. Karena selama waktu itu mereka tidak pernah bisa lepas dari memikirkan keselamatan bayinya, sehingga tidak bisa memusatkan pikiran pada hal-hal atau aktifitas yang memerlukan kesucian bathin. Setelah menjalani “karantina” selama 42 hari, kejiwaan sang ibu sudah bisa stabil lagi dan untuk menandakan “lepas karantina” ini mereka diupacarai dengan upacara penyucian.(Sudharta, Tjok Rai. 2006: 25-26)
Upacara Kambuhan disebut juga “Upacara Macolongan”. Seperti yang telah diuraikan bahwa bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan bayi dalam kandungan sangat dibantu oleh empat unsur beserta kekuatannya yang sering disebut “Catur Sanak” berati empat saudara (darah, lamad, yeh nyom, dan ari-ari). Nama dari empat saudara ini akan berganti-ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi sehingga akan terdapat banyak nama untuk mereka.
Dari beberapa sumber antara lain mantram Pebayangan : disebutkan nama Sang Karsika, Sang Garga, Sang Meitri, Sang Kurusya dan Sang Pretenjala yang sering juga terdapat dalam mantra-mantra dan lontar-lontar yang dibuktikan dengan nama-nama Sang Kala, Banaspati raja, Sang Kala Anggapati. Sang Kala Banaspati dan Sang Kala Mrajapati yang semuanya tidak lain adalah Sang Catur Sanak. Disebut juga bahwa dari Catur Sanak adalah “nyama bajang”
Yang dimaksud dengan “nyama bajang” adalah semua kekuatan-kekuatan yang membantu Sang Catur Sanak di dalam kandungan, dalam proses pertumbuhan penyempurnaan jasmani serta keselamatan bayi. Menurut penjelasan beberapa sulinggih “nyama bajang” banyaknya 108 salah satunya diantaranya bernama “bajang colong”. Dari sinilah mungkin munculnya istilah upacara macolongan tersebut.
            Setelah bayi berumur 42 hari (satu bulan tujuh hari sejak kelahirannya) dianggap sudah waktunya mengembalikan si nyama bajang itu ke tempat asalnya karena dianggap sudah tidak mempunyai tugas lagi bahkan kadang–kadang sering mengganggu bayi. Sebagai penggantinya adalah dua ekor ayam yaitu seekor ayam jantan dan seekor ayam betina yang dinamai “Pitik”. Pada umumnya pitik ini tidak boleh disembelih demikian pula anaknya yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau disembelih karena dianggap sebagai pengasuh bayi.
            Dalam memperoleh pitik sering terjadi kekeliruan yaitu dengan jalan mencuri yang disebut juga nyolong. Mungkin dari sinilah “nyama bajang”yaitu “bajang colong” dan juga adanya nama bajang colong tersebut diatas.
            Disamping upacara-upacara yang telah disebutkan diatas, maka pada saat ini dilakukan pula upacara Karnawedha “melubangi daun telinga”. (Putra, Ny. I gst Ag.Mas.1987:19). Rsi Susruta (ahli pengobatan India yang hidup sekitar abad ke-6 sebelum Masehi) menyatakan bahwa dengan melubangi daun telinga sang bayi, maka bayi itu akan terlepas dari penyakit hydrocele dan penyakit hernia. Kapan itu dilaksanakan? Rsi Garga menganjurkan acara ini dilakukan pada waktu bayi berumur enam, tujuh, delapan atau 12 bulan. Rsi Sripati menganjurkan agar dilakukan sebelum bayi itu tumbuh gigi, sedangkan Rsi Katyayana malah menganjurkan pada usia enam atau tujuh tahun. ( Sudharta, Tjok Rai. 2006:32-33)
5. Bayi Berumur Tiga Bulan
            Setelah bayi berumur tiga bulan dikenal dengan upacara bernama Tigang sasih. Kalau di India  dinamakan upacara Niskarmana. Ini tidak berarti bahwa kata Niskarmana mempunyai arti bayi berumur tiga bulan. Kata Niskarmana ini artinya dalam bahasa inggris adalah first outing  atau terjemahan bebasnya “ membawa bayi keluar untuk pertama kalinya”. Untuk apa? Untuk melihat matahari. Sedangkan untuk melihat bulan dilakukan setelah bayi berumur empat bulan. Jadi ada perbedaan antara melihat matahari dan melihat bulan. Ini adalah simbolis dari kondisi bayi untuk beradaptasi dengan udara siang dan udara malam di luar rumah. Pada saat inilah sang bayi boleh untuk pertama kalinya dibawa keluar rumah. Ini biasanya bersamaan dengan acara pertama kalinya bayi itu diberikan makanan lembek, biasanya pisang di samping susu ibunya. Upacara
Niskarmana termuat dalam satra yang menyebutkan bahwa:
Caturthe masi katavyam
            Sisorniskramanam grhat,
            Sasthe nna prasanam masi
            Yad vestam mangalam kule.(Manawa Dharmasastra II. 34)

Terjemahan :
            Pada bulan ke empat harus dilakukan upacarn niskramana (bayi keluar untuk pertama kalinya) bagi bayi dan pada umur enam bulan dilakukan upacara annaprasana (upacara otonan) dan wajib pula melakukan upacara yang biasa dalam keluarga itu.

            Upacara nelu bulanin atau tigang sasih yaitu upacara yang dilakukan 105 hari setelah bayi itu lahir. Upacara tiga bulanin ini hanya satu kali dilaksanakan sebagai upacara perpisahan dengan Empat saudara yang mengikuti dan menolong bayi itu pada saat dilahirkan. Perpisahan ini hanya melepaskan unsur negatif yang dibawa oleh ke Empat Saudara bayi itu, tetapi unsur kejiwaannya masih tetap dekat dan bisa membantu bayi itu  sampai usia tuanya.
Sesajen dalam upacara ini di bagi atas tiga macam dan di letakkan pada tiga tingkat yaitu atas , tengah dan bawah. Tingkat atas ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, tingkat tengah ditujukan pada manusia (bayi), dan tingkat bawah ditujukan kepada unsur bhuta yang akan di somyakan (Empat Saudara Bayi). Adapun sesajen yang dipakai dalam upacara ini adalah :
Tingkat Atas : Sesajen Bayuan, lambang energi atau kekuatan. Sesajen Pengulapan, lambang daya magnit yang menarik kekuatan positif bagi bayi. Sesajen pengambean, lambang mempersilahkan kekuatan positif untuk menetap pada bayi. Wangsuh Pada, yakni air suci pembasuh kaki Tuhan sebagai rahmat dari Tuhan untuk bayi. Kain Tenun, lambang kekuatan positif yang merangkul bayi selama hidupnya.
Tingkat Tengah :  Sesajen Jejangan, terdiri dari nasi dan lauk pauk serta dedaunan sebagai lambang alam kecil atau tetamanan dimana bayi sebagai manusia mulai saat itu sudah bisa berjalan menikmati alam lingkungan di sekelilingnya. Sesajen Sambutan, terdiri dari beras, kelapa, benang tiga warna dan penyejeg. Benang tiga warna itu ialah warna merah, hitam dan putih yang melambangkan Tri Murti yaitu Dewa Brahma yang simbolisasi warna beliau adalah  merah  sebagai manifestasi Tuhan Maha Pencipta, Dewa Wisnu yang simbolisasi warna beliau adalah  hitam sebagai  manifestasi Tuhan Maha Pelindung dan Dewa Siwa yang simbolisasi warna beliau adalah  putih sebagai  manifestasi Tuhan Maha Penyempurna, melebur untuk membangun kembali yang lebih sempurna. Penyejeg adalah lambang bayi yang diupacarai, Penyejeg dibuat dari janur. Secara menyeluruh Sesajen Sambutan ini mengandung makna menyambut kedatangan lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) yakni unsur padat, cair , panas, angin dan ether. Unsur-unsur tersebut diharapkan bersatu dari segala arah dan memperkuat bayi agar bayi bisa mempunyai kulit yang kuatnya seperti tembaga, mempunyai otot bagai kawat serta tulang belulang yang bagaikan besi baja.
Tingkat Bawah : Sesajen Bajangan, sebagai lambang jasad empat saudara bayi yang akan disomyakan dari bayi yang akan dilambangkan dengan batu, telur, arang dan labu yang masing-masing dinamakan Sang Malipa, Malipi, Bapa Bajang dan Ibu Bajang. Sedangkan bayi itu sendiri dilambangkan dengan jantung pisang yang disebut Bajang Colong. Sesajen Kumara, sebagai lambang jiwa yang menitis pada bayi yang dilambangkan dua tumpeng kecil dari nasi. Walaupun Sesajen Kumara ini masuk dalam sesajen tingkat bawah tetapi nantinya di rumah orang tua bayi itu sesajen diletakkan di atas tempat tidur bayi. Sedangkan Sesajen Ari-Ari, lambang dari placenta yang nantinya diletakkan di arah kaki tempat tidur bayi, atau di atas penutup kubur ari-ari bayi.(Sudharta, Tjok Rai.2006: 30-31)
    
5. Bayi Berumur Enam Bulan
            Bayi yang sudah berumur enam bulan disebut satu weton. Kata weton berasal dari kata wetuan menjadi weton menjadi oton. Kata wetu artinya keluar atau lahir. Jadi upacara weton ialah peringatan hari kelahiran tepat pada waktu tibanya hari ( Sapta wara), Pancawara dan pawukon yang sama datangnya setiap 6 bulan dalam perhitungan Bali/jawa atau 210 hari yaitu 30 x 7 hari. Bagi umat Hindu hari kelahirannnya atau otonannya akan datang setiap 210 hari dan dirayakan secara keagamaan.
            Dalam kehidupan umat Hindu dalam hal kelahiran, tidak pernah terlepas dari perhitungan hari dalam seminggu (Sapta Wara), hari pasaran (Panca Wara) dan Pawukon yang berjumlah 30 wuku yang masing-masing berumur 7 hari mulai dari Minggu.
Ketiga hal ini mempunyai pengaruh dan efek yang berbeda dalam kehidupan manusia yang ditentukan dengan hari kelahirannya. Masing-masing mempunyai pengaruh positif dan kekuatan negatif. Umat Hindu di Bali pada dasarnya tidak begitu dipengaruhi oleh tanggal dan bulan masehi ini lebih belakang dari perhitungan hari pasaran dan pawukon itu. Dengan mengenal saat-saat kelahirannya, baik secara Hindu ataupun secara masehi, tujuannya adalah untuk mengetahui keadaan positif dan negatif dari masing-masing orang dengan tujuan untuk menumbuhkan yang positif semaksimal mungkin dan mengecilkan yang negatif semaksimal mungkin dalam hidup ini.
            Setelah diuraikan mengenai pawukon dan hari serta pasarannya mungkin akan ada pertanyaan apa hubungannya dengan Manusa Yadnya yaitu : 6 bulan umur bayi atau satu weton? Bagi Umat Hindu bukan tanggal dan bulan lahir yang diperhitungkan, tetapi hari dan pasarannya serta wuku yang diperhitungkan.
            Upacara weton yang dilakukan setiap 6 bulan sekali (dalam hitungan pasaran) tidak lain maksudnya untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan bayi itu. Bukan hanya bayi saja yang dimohonkan keselamatannya, tetapi semua ciptaan-Nya yang lain yaitu tumbuhan dan hewan. Weton tidak hanya utuk manusia saja namun tumbuhan dan hewan pun memiliki weton.
            Khusus untuk manusia, upacara weton dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: dari wetonan I sampai weton ke-III merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan dari wetonan ke – IV sehingga sebelum tanggal gigi (lebih kurang umur 6 tahun) diharapkan untuk dilaksanakan. Wetonan sejak tanggalnya gigi sampai wetonan selanjutnya dianjurkan untuk dilaksanakan.
            Upacara ngotonin memiliki makna yang luas melingkupi keseluruhan aspek yang dibutuhkan dalam memperingati hari kelahiran. Pertama, aspek ritual dengan media upakara/banten. Ngotonin sebagai pengamalan ajaran yajna dengan makna sebagai ungkapan angayu bagia atas waranugraha-Nya berupa kerahayuan sehingga berkesempatan mendapatkan tambahan umur. Kedua, aspek spiritual dengan media doa, japa, mantra yang mengiringi upacara ngotonin merupakan nilai tinggi yang didapat bagi seseorang dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhaktinya kepada Hyang Widhi, dan Bhatara-Bhatari. Dan ketiga, aspek seremonial berupa kemeriahan atau kesemarakan di mana bersama anggota keluarga bersama-sama menikmati “surudan banten ngotonin” merupakan peristiwa yang penuh nuansa agamais.
            Bagi yang baru menginjak umur satu weton, sesajen yang digunakan bernama dapetan. Demikian pula dengan bayi yang bari lahir juga dibuatkan sesajen yang namanya dapetan yang ditempatkan atau diarahkan ke kepala bayi yang sedang tidur. Wujud penyeneng berbentuk sampian dengan keistimewaannya dengan menggunakan tiga tangkih (seperti piring kecil yang terbuat dari daun kelapa) yang dipersatukan. Masing-masing tangkih itu berisi : suatu lupatan daun dadap dan beras/tepung (dinamakan tepung tawar), serasik (beras/bija), dan tetebus (benang).
            Penyeneng ini biasa beralaskan seikat uang kepeng bolong (satu ikat uang kepeng bolong hitam jumlahnya 200 buah) dan beras yang ditaruh pada sebuah bokor. Artinya, penggambaran atau perwujudan doa menciptakan agar orang yang diupacarai itu mendapatka kelanggengan urip, kenikmatan dan kesejahteraan hidup panjang dan lengkap. Memperhatikan bahan-bahan dan terutama mendengar ucapan doa-doa ketika mengadakan upacara weton kiranya dapat diartikan sebagai berikut:
            Tepung tawar yang terbuat dari irisan daun dapdap dengan tepung beras, aslinya adalah bahan-bahan obat. Digunakan pada awal upacara. Hal ini jelas sebagai suatu perwujudan dari doa cipta ingin membersihkan dan menyehatkan yang diupacarai.
Sesarik yang bahannya dari beras , diumpamakan sebagi sarana hidup. Di jalankan setelah tepung tawar  dan diperciki tirta dengan hantaran doa: semoga panjang umur, serasi, sejahtera selalu, dan selalu dirahmati serta dikaruniai rejeki halal dari Tuhan Yang maha Esa.
            Tetebus yang berwujud benang. Mula-mula sehelai benang digelangkan pada pergelangan tangan kanan disertai dengan doa “ semoga memiliki kekuatan seperti baja, besi weresani, berurat kawat, bertulang besi”. Semuanya ini melambangkan doa untuk kekuatan dan keberanian. Tetebusan ke dua yaitu sehelai benang diletakkan di atas ubun-ubun diantar doa-doa: “ menjunjung ancak, menjunjung kroya, menjunjung atama-atma juwita seratus satu”. Maksud dari “tetebusan” ialah : benang dipergelangan tangan sebagai lambang agar dengan usaha sendiri mendapatkan kecukupan sandang pangan dan papan yang ditunjukkan pada badan wadag. Benang yang ditaruh di ubun-ubun ialah memperingatkan betapa beratnya tugas-tugas di dunia ini, yang laksana menjunjung pohon ancak (pohon bodoh, dan kroya (jenis pohon beringin)). Berat tetapi bernilai mulia dan agung.  Kedua pohon-pohon itu dianggap keramat dan bertuah bagi orang Hindu dan biasa digunakan sebagai bahan sesajen serta alat-alat upacara.
            Serangkaian dengan upacara otonan ini juga dilakukan upacara “Megundul” yang bertujuan untuk membersihkan “Siwa-Dwara nya” (ubun-ubun). Namun, ada beberapa pendapat berbeda, pada umur berapa upacara ini dilakukan. Tetapi umat Hindu di Bali menyelenggarakan acara “penggundulan” itu pada waktu weton itu juga, yaitu pada waktu bayi berumur enam bulan. (Sudharta, Tjok Rai. 2006:33)
            Demikianlah seseorang, yang hidupnya menjadi beban yang berat tetapi mengandung penuh arti yang agung dan luhur. Perlu ditambahkan disini bahwa bersama dengan upacara-upacara wetonan ini, Catur Sanak si bayi (empat unsur yang lahir bersama-sama dengan si bayi) juga disucikan dan diganti namanya masing-masing yaitu : Sang Garga, Sang Metri, Sang Kurusya dan Sang Pretanyala. Mulai saat wetonan pertama ini wetonan ini saudara empat si bayi dimohonkan oleh sang pandita agar pulang kekahyangannya masing-masing, dan mulai saat inilah tidak ada lagi upacara-upacara untuk mereka berempat itu. Karena mereka sudah tidak dianggap ada di dunia ini, walau masih bisa dihubungi sewaktu diperlukan.
            Hari pasaran dan waktu dari weton itu dianggap penting oleh umat Hindu. Khususnya dari suku Bali, karena ia memiliki arti dan tuntutan tertentu. Kelahiran itu tidak bisa ditentukan secara tepat oleh manusia. Manusia atau dokter ahli pun bisa meleset menentukan kelahiran seorang bayi., karena yang menentukan ialah Tuhan sendiri. Karena semua itu rahasia besar Sang Maha Pencipta.

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - MapYRO
    The 남양주 출장안마 Borgata Hotel Casino 거제 출장안마 & Spa is the place where Atlantic City has been for decades. The iconic resort 경기도 출장샵 was opened in 1996 and 천안 출장안마 serves 김해 출장마사지 as a gateway to the

    BalasHapus