Minggu, 19 Januari 2014
Kamis, 16 Januari 2014
Tugas acara agama hindu
1.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang tidak
akan punah, sedangkan harta benda itu tidak kekal. Pustaka Nitisastra. II.5 mengatakan” Tidak ada sahabat yang melebihi
pengetahuan yang tinggi manfaatnya, tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada
nafsu jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta orang tua
kepada anaknya. Tidak ada kekuatan yang melebihi nasib, karena ia tidak
terhindarkan dan tak tertahankan oleh siapa pun juga”
Dalam Pustaka Slokantara. 55 disebutkan bahwa,” Pengetahuan itu bersinar di wajah
orang bijaksana mengalahkan sinar Surya. Orang bodoh itu tidak ada bedanya
dengan tumbuhan menjalar yang kering terkena sinar matahari. Pengetahuan itu
adalah obor dalam jalan kehidupan”. Tetapi yang paling menentukan ialah watak
manusia sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Sarasamuscchaya.356,” Ilmu pengetahuan itu akan sia-sia dan lenyap
kesucian dan kemanfaatannya kalau dimiliki oleh orang jahat, seperti air yang
berada pada tulang tengkorak mayat. Betapakah mungkin akan suci dan bermanfaat,
malah akan membahayakan jika ilmu itu
ada pada orang yang berbudi rendah.
Akan lebih berbahaya orang jahat
yang pintar daripada orang jahat yang bodoh. Dan pembentukan watak manusia ini
menurut Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu
diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan dengan Prenatal Education (pendidikan sebelum
lahir). Pelaksanaannya diwujudkan dengan upacara yang disebut Magedong-gedongan (cara di Bali), atau Mitu Bulanin (cara di Jawa), atau Garbhadhana (cara di India). Malah pembentukan watak itu sudah dimulai
ketika bapak ibu mengadakan senggama yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan
anak yang baik.
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana memberikan pendidikan kepada anak sebelum ia terlahir ke dunia. Hal
ini tentu tidak mungkin dilaksanakan apalagi dilakukan secara langsung. Namun,
hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni dengan mengatur
perikehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, yang melalui perasaan sang ibu akan
berpengaruh pada watak si jabang bayi. Jadi yang dimaksud dengan Prenatal Education ialah mendidik
disiplin ibu bapak dan orang-orang di sekitarnya.
Ada yang percaya bahwa apabila
menghendaki anak yang tampan atau cantik, maka sering-seringlah melihat hal-hal
yang bagus atau indah, tidak mengenang hal-hal yang buruk. Selain itu, selama
hamil hendaknya si calon ibu itu diberikan ajaran-ajaran agama dengan
menekankan pelajaran tata susila. Karena apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan
oleh sang ibu, akan dirasakan juga oleh
si jabang bayi tersebut. Hal ini senada pula dengan hasil penelitian dari Prof.
Lee Salk, dari New York. Ia merekam dengan tape recorder denyutan jantung
seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia membunyikan musik
indah maka hasil rekaman denyut jantung menjadi berbeda, menunjukkan frekuensi
yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi dalam kandungan menunjukkan
reaksi karena ia berhasil mendengarkan sesuatu yang datang dari luar gua garbha.
Hasil
penelitian yang lain diperkenalkan oleh George Losanov, seorang pendidik
Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “sugestology”
atau “sugestopedia”, yakni Quantum
Learning. Prinsip utama metode ini sugesti dapat dan pasti mempengaruhi
anak didik, baik secara positif maupun negatif dalam hasil belajarnya. Dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu sugesti positif, maka respons positif anak
didik akan meningkat. Teori ini pun dapat diberlakukan dalam pendidikan
prenatal. Misalnya saja dengan memperlakukan ibu yang sedang mengandung dengan
baik, yakni memperhatikan/memenuhi kebutuhannya dengan sewajarnya, menumbuhkan
perasaan merasa disayang, diperhatikan, perasaan nyaman, dan sebagainya akan
memberikan kesan positif pada jiwa si ibu yang kemudian mengalir pada jiwa anak
yang dikandung.
Quantum Learning bahkan bisa mensugesti
kerja otak kanan. Proses kerja otak kiri yang selalu bersifat logis,
sekuensial, linear, dan mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, serta
cara berpikirnya yang sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal,
menulis, membaca, asosiasi auditorial, mendapatkan detail dan fakta. Dan
fonetik dapat disesuaikan dengan cara berpikir otak kanan yang bersifat acak,
tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara
untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran
yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola,
musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi.
Disamping
itu, penanaman pendidikan (jiwa) agama pada anak sudah dapat dimulai saat anak
dalam kandungan. Misalnya, dengan cara ibu rajin membuat sesajen, rajin
sembahyang (berdoa), membaca buku-buku agama dan sebagainya. Dengan demikian,
jiwa agama ini akan tertanam dan merasuk pada anak sejak awal, yang nantinya
dijadikan pedoman (pola anutan) dalam bertingkah laku selama mengarungi
kehidupannya. Anak yang masa kecilnya tidak mendapat didikan dan pengalaman
agama, maka kelak ia akan menjadi orang yang acuh tak acuh terhadap agama dan
cenderung mempunyai sifat negatif. “Sebaiknya jiwa agama itu mulai ditanamkan
ketika bayi masih dalam kandungan, yaitu yang dikenal dengan upacara
magedong-gedongan. Hal ini penting karena bayi sejak dalam kandungan sudah peka
terhadap getaran-getaran tertentu”( Ni Putu Suwardini, blog 2000).
Kenang-kenangan yang tidak dapat
dilupakan oleh seseorang anak sampai akhir hayatnya adalah kasih sayang seorang
ibu yang diterimanya sejak masih dalam kandungan, sampai ia dapat berdiri
sendiri, secara sadar maupun di bawah sadar. Kasih sayang ibu sejak bayi masih
dalam kandungan serta air susu ibu yang diterimanya setelah lahir adalah unsur-unsur
yang sangat penting yang merupakan penentu kehidupan seorang anak. Hal ini juga
disebutkan dalam kitab Slokantara. 52,”
Di waktu malam, Dewi Ratih atau bulanlah yang menjadi lampu alam, Di waktu
siang, Dewa Surya atau matahari lah yang menjadi lampu dunia, Dan di ketiga
alam, Dharmalah yang menjadi lampunya. Sedangkan dalam suatu keluarga, putra-putri
yang baik adalah menjadi cahaya lampunya”.
Dengan
demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah mengherankan
kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan spiritual
putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara Magedong-Gedongan atau Mitu Bulanin tadi hingga ia mencapai
dewasa. Karena
melaksanakan suatu upacara Yadnya ini merupakan suatu keharusan untuk penyucian
diri sebagaimana halnya disebutkan dalam dalam Manawa Dharmasastra. II .26 yang
menyatakan bahwa,
“
Waidikaih karmabhih punyair
Nisekadirdwijanmanam
Karyah sarira
samskarah pawanak pretya ceha ca
Pawanah pretya
ceha ca”
Terjemahan :
Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan
pada saat terjadi perbuahan dalam rahim ibu serta upacara kemanusiaan lainnya
bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dalam hidup ini
maupun setelah meninggal.
tugas tata susilaa
TATA SUSILA
Ucapan Yang Terkontrol
Madhumanme nikramanam
Madhumanme parayanam,
Vaca vadani madhumad
Bhuyasam madhusamdrsah (Atharwa Weda
1.34.3)
Terjemahan :
Oh Tuhan! Ke mana pun kepergian dan
di mana pun kedatangan saya menjadi manis dan apa pun yang saya ucapkan
hendaknya juga lemah lembut dan saya sendiri menjadi simbol dari kelemah
lembutan itu.
ketahanan nasional
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KETAHANAN NASIONAL
SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM
KEHIDUPAN BERAGAMA DI BALI
A.
Pengertian
Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah :perihal tahan (kuat),
keteguhan hati, ketabahan dari kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan
nasional suatu bangsa yang telah menegara. Ketahan nasional merupakan kondisi
dinamik suatu bangsa, berisi keulutan dan ketangguhan, yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, ancaman, hambatan, gangguan baik yang dating dari dalam
maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar
tujuan perjuangan nasionalnya.
Lontar Wrhaspati tattwa
Kajian
Lontar Wrhaspati Tattwa
I Pendahuluan
Wrhaspati Tattwa
adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran
tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara
sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri
dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Sansekertanya disusun dalam bentuk sloka dan Bahasa Jawa Kunonya disusun
dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau
penjelasan bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati
Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian
yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika
pengendalian diri mengambil ajaran yoga.
Secara etimologi Vrhaspati
tattwa berasal dari kata “Whraspati”
dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati adalah nama
seorang bhagawan di sorga,,hal ini
sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati
Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
Irikang
kala bana sira wiku ring swarga
Bhagawad
Whraspati ngaran ira
Sira
ta maso mapuja di Bhatara.
Terjemahannya:
Pada
saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja Hyang
Iswara ( Putra dkk, 1998 : 1 ).
Kemudian menurut Watra (2007 : 1)
Tatwa berasal dari bahasa sansekerta.
Tattwa memiliki berbagai pengertian
seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala
sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati Tattwa berarti ajaran
kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari
Bhagawan Wrhaspati.
Wrhaspati Tattwa
berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan
Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di Bali adalah Dewa yang
menempati arah timur. Iswara tidak
lain adalah aspek dari Siwa sendiri.
Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan
bahwa Hyang Iswara berstana di puncak
Gunung Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci.
Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah
orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga. Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan
kebenaran tertinggi tentang Siwa
kepada Bhagawan Wrhaspati dengan
metode tanya jawab.
Ajarannya
ini diterjemahkan dalam 74 sloka berbahasa Sansekerta yang di terjemahkan ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Wrhaspati Tattwa merupakan
naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya
dirangkum dalam suatu mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaranitu
dimengerti.Mengingat ajaran filsafat atau Tattwa
yang tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti
Sesayut Sidha Karya dan Sidha Purna
Nama:
- Ni Kadek Budiantari (10.1.1.1.1.3895)
- Luh
Ari Liani (10.1.1.1.1.3880)
Kelas:
PAH B V
Siva Sidhanta II
Makna dan Penggunaan
Banten Sesayut Sidha Karya dan Sesayut
Sidha Purna
Pengertian
Sesayut
Menurut
Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan
bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut”
atau “nyayut” dapat diartikan
mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari
Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia
dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa
sesayut berasal dari kata “sayut”
yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah
orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau
penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya
Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu.
Kata “ayu” mendapat pengater Dwi
Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian
mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut
merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang
melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan
sebagainya.
Kulit
sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit
sesayut terdapat isehan. Ada dua
jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan
tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian
plaus yang kedua tangkihnya
digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan.
Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan
potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam banten sesayut banyak terdapat
jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis
sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun
yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut
Sidha Purna.
Tugas Makna Daksina
Nama : Ni Kadek Budiantari
Nim : 10.1.1.1.1.3895
Kelas : PAH B V
Siva Sidhanta II
Makna Filosofis Banten Daksina
Daksina disebut Juga
"Yadnya Patni" yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina
juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu
menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau
pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan
Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
TUGAS SIVA SIDHANTA
Nama : Ni Kadek Budiantari
Nim : 10.1.1.1.1.3895
Kelas : PAH B V
Siva
Sidhanta II
Makna
Canang Sari dan Hubungannya dengan
Penyatuan
Konsep Siva Sidhanta di dalamnya
Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih
menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang Sari ini dalam
persembahyangan penganut Hindu di Bali adalah kuantitas terkecil namun inti
(kanista = inti). Canang sari disebut terkecil namun inti karena dalam setiap
banten atau yadnya apa pun selalu berisi canang sari.
Canang
Sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang Sari juga
mengandung salah satu makna symbol bahawa Weda untuk memohon kekuatan Widya
(pengetahuan) kehadapan Sang Hyang Widhi untuk Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Canang
berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan
atau maksud (bhsa Kawi/Jaw Kuno). Sari berarti inti atau sumber. Dengan
demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara sekala maupun niskala ( http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012 pukul 12.23 Wita)
Langganan:
Postingan (Atom)