Nama:
- Ni Kadek Budiantari (10.1.1.1.1.3895)
- Luh
Ari Liani (10.1.1.1.1.3880)
Kelas:
PAH B V
Siva Sidhanta II
Makna dan Penggunaan
Banten Sesayut Sidha Karya dan Sesayut
Sidha Purna
Pengertian
Sesayut
Menurut
Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan
bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut”
atau “nyayut” dapat diartikan
mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari
Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia
dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa
sesayut berasal dari kata “sayut”
yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah
orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau
penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya
Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu.
Kata “ayu” mendapat pengater Dwi
Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian
mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut
merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang
melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan
sebagainya.
Kulit
sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit
sesayut terdapat isehan. Ada dua
jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan
tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian
plaus yang kedua tangkihnya
digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan.
Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan
potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam banten sesayut banyak terdapat
jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis
sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun
yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut
Sidha Purna.
Sesayut
Sidha Karya
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar
terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan
yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan
upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak
menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca
Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi
menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang
digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu
mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya
memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih,
Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’
berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut,
maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini
dapat dikatakan sebagai pemuput dalam
suatu rangkaian upacara yajna.
Ida
Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut
(2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara
Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah
‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam
bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut
Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini
adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku
Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat
dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk segi empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung berisi nasi
-
Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian Sesayut
Cara
Menatanya:
Kulit sesayut diletakkan di atas
nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah
segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung
tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan)
serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan
pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Sesayut
Sidha Purna
Sesayut
Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya.
Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak
diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang
Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana..
Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas
pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).
Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa
Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
nasi 3 bulung
-
telur itik rebus dibagi 3
-
bunga tunjung
-
raka-raka (buah dan jajan)
-
sampian nagasari
Cara
menatanya:
Untuk alasnya bisa digunakan nampan
atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di
atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan
buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006;
196
Adapun beberapa makna
yang terkandung di dalam komponen sesayut sidha karya dan sesayut sidha purna
meliputi:
a. tetebasan
atau kulit sesayut lambang kesungguhan hati dalam mempersembahkan yadnya.
b. segehan,
simbol Sang Hyang Panca Dewata
Segehan pun dibuat harus
berdasarkan tattwa, dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang.
Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di
kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan,
agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan
kerukunan.
- Arah
Timur, warna nasi adalah putih.
- Arah
Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau
diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
- Arah
Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
- Arah
Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi.
Di dalam segehan, selain nasi kepel
juga berisi :
• Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat
penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang
welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya,
demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
• Bunga,.
• Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
• Irisan
bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
• Irisan
jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah
simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
c. kwangen,
merupakan symbol dari Ongkara, yaitu kojong adalam simbol ‘angka tiga’,
potongan bagian atas yang lonjong adalah merupakan simbol “ardha candra”, uang
yang bentuknya bulat adalah simbol “windu”, sedangkan cili, bunga serta
daun-daunan/plawa adalah simbul “nada”.
d. raka
(jajan dan buah), melambangkan hasil bumi
e. porosan,
melambangkan Tri Murthi
f. bunga,
sebagai symbol kesucian hati
DAFTAR
PUSTAKA
Bangli,
I Putu. 2006. Warnaning Sesayut lan Caru.
Surabaya; Paramitha
Dunia,
I Wayan. 2008. Nama-Nama Sesayut.
Surabaya: Paramitha
Raras,
Niken Tambang. 2006. Majejahitan dan Metanding. Surabaya; Paramitha
Wiana,
Ketut. 2009. Suksmaning Banten.
Surabaya; Paramitha
Wijayananda,
Mpu Jaya. 2003. Tetandingan lan Sorohan
Banten. Surabaya; Paramitha
. 2006. Tataning Tetandingan Banten Sesayut. Surabaya;
Paramitha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar