Nama : Ni Kadek Budiantari
Nim : 10.1.1.1.1.3895
Kelas : PAH B V
Siva
Sidhanta II
Makna
Canang Sari dan Hubungannya dengan
Penyatuan
Konsep Siva Sidhanta di dalamnya
Canang
Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih
menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang Sari ini dalam
persembahyangan penganut Hindu di Bali adalah kuantitas terkecil namun inti
(kanista = inti). Canang sari disebut terkecil namun inti karena dalam setiap
banten atau yadnya apa pun selalu berisi canang sari.
Canang
Sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang Sari juga
mengandung salah satu makna symbol bahawa Weda untuk memohon kekuatan Widya
(pengetahuan) kehadapan Sang Hyang Widhi untuk Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Canang
berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan
atau maksud (bhsa Kawi/Jaw Kuno). Sari berarti inti atau sumber. Dengan
demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang
Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara sekala maupun niskala ( http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012 pukul 12.23 Wita)
Menurut hasil Forum diskusi Jaringan Hindu Nusantara yang
termuat dalam blog http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/canang-sari.html,
mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa
macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Canang dikatakan
sebagai penjabaran dari bahasa Weda. Ada pun makan yang terdapat dalam Canang
Sari meliputi:
1. Canang
memakai alas berupa “ceper” (berbentuk segi empat) adalah symbol “Ardha Candra”
(bulan).
2. Pelawa
lambang ketulus ikhlasan dalam menghaturkan persembahan.
3. Di
atas ceper diisikan sebuah “porosan” yang bermakna persembahan tersebut harus
dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi
beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugrah dan
karunia-Nya. Porosan juga mengandung makna Tri Mutrhi, yaitu Dewa Brahma, Wisnu
dan Siva. Di mana porosan terdiri atas daun plawa, sirih, dan pamor. Plawa
melambangkan Dewa Wisnu, daun sirih melambangkan Brahma, dan pamor melambangkan
Dewa Siwa.
4. Di
atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue)
adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
5. Kemudian
di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari"
yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah
simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung
Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha"
(Bintang).
Penataan
bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan
tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Adapun
penataan bunga yang benar meliputi:
a. Bunga
berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda)
disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya
Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian
skala niskala.
b. Bunga
berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan
Kepradnyanan dan Kewibawaan.
c. Bunga
berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan
intuisi.
d. Bunga
berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau
ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu
agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
e. Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan
pembebasan (Moksa).
Dapat
dikatakan bahwa bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung
/ Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
Dilihat
dari makna tersebut di atas, apabila dikaji dengan hubungan penyatuan Siva
Sidhanta di Bali, maka dapat canang sari memiliki makna yang merupakan suatu
konsep penyatuan Siva Sidhanta di Bali. Ceper merupakan lambang Ardha Candra
yaitu bulan merupakan kristalisasi dari sekte Sora, porosan merupakan lambang
Tri Mutrhi merupakan kristalisasi dari sekte Brahma, Waisnawa, dan Siwa. Sampian
urasari merupakan kristalisasi dari sekte sora karena sampian urasari merupakan
lambang dari Windhu (Matahari) dan Nadha (Bulan).
Begitu
pula dalam pemakaian bunga dalam canang sari. Bunga putih melambangkan Isvara.
Isvara merupakan bentuk lain dari Siva, sehingga ini merupakan bentuk
kristalisasi dari sekte Siwa. Bunga merah merupakan lambang dari dewa Brahma
merupakan bentuk kristalisasi dari sekte Brahma. Bunga kuning merupakan lambang
dari dewa Mahadewa yang merupakan nama lain dari Wisnu. Begitu pula bunga yang
berwarna hitam merupakan lambang dari dewa Wisnu. Dapat dikatakan bahwa ini merupakan
bentuk kristalisasi dari sekte waisnawa. Rampe (irisan pandan arum) merupakan
lambang dari Siva, secara jelas dapat dikatakan bahwa rampe merupakan bentuk
kristalisasi dari sekte Siva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar