1.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang tidak
akan punah, sedangkan harta benda itu tidak kekal. Pustaka Nitisastra. II.5 mengatakan” Tidak ada sahabat yang melebihi
pengetahuan yang tinggi manfaatnya, tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada
nafsu jahat dalam hati sendiri. Tidak ada cinta yang melebihi cinta orang tua
kepada anaknya. Tidak ada kekuatan yang melebihi nasib, karena ia tidak
terhindarkan dan tak tertahankan oleh siapa pun juga”
Dalam Pustaka Slokantara. 55 disebutkan bahwa,” Pengetahuan itu bersinar di wajah
orang bijaksana mengalahkan sinar Surya. Orang bodoh itu tidak ada bedanya
dengan tumbuhan menjalar yang kering terkena sinar matahari. Pengetahuan itu
adalah obor dalam jalan kehidupan”. Tetapi yang paling menentukan ialah watak
manusia sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Sarasamuscchaya.356,” Ilmu pengetahuan itu akan sia-sia dan lenyap
kesucian dan kemanfaatannya kalau dimiliki oleh orang jahat, seperti air yang
berada pada tulang tengkorak mayat. Betapakah mungkin akan suci dan bermanfaat,
malah akan membahayakan jika ilmu itu
ada pada orang yang berbudi rendah.
Akan lebih berbahaya orang jahat
yang pintar daripada orang jahat yang bodoh. Dan pembentukan watak manusia ini
menurut Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu
diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan dengan Prenatal Education (pendidikan sebelum
lahir). Pelaksanaannya diwujudkan dengan upacara yang disebut Magedong-gedongan (cara di Bali), atau Mitu Bulanin (cara di Jawa), atau Garbhadhana (cara di India). Malah pembentukan watak itu sudah dimulai
ketika bapak ibu mengadakan senggama yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan
anak yang baik.
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana memberikan pendidikan kepada anak sebelum ia terlahir ke dunia. Hal
ini tentu tidak mungkin dilaksanakan apalagi dilakukan secara langsung. Namun,
hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni dengan mengatur
perikehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, yang melalui perasaan sang ibu akan
berpengaruh pada watak si jabang bayi. Jadi yang dimaksud dengan Prenatal Education ialah mendidik
disiplin ibu bapak dan orang-orang di sekitarnya.
Ada yang percaya bahwa apabila
menghendaki anak yang tampan atau cantik, maka sering-seringlah melihat hal-hal
yang bagus atau indah, tidak mengenang hal-hal yang buruk. Selain itu, selama
hamil hendaknya si calon ibu itu diberikan ajaran-ajaran agama dengan
menekankan pelajaran tata susila. Karena apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan
oleh sang ibu, akan dirasakan juga oleh
si jabang bayi tersebut. Hal ini senada pula dengan hasil penelitian dari Prof.
Lee Salk, dari New York. Ia merekam dengan tape recorder denyutan jantung
seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia membunyikan musik
indah maka hasil rekaman denyut jantung menjadi berbeda, menunjukkan frekuensi
yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi dalam kandungan menunjukkan
reaksi karena ia berhasil mendengarkan sesuatu yang datang dari luar gua garbha.
Hasil
penelitian yang lain diperkenalkan oleh George Losanov, seorang pendidik
Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “sugestology”
atau “sugestopedia”, yakni Quantum
Learning. Prinsip utama metode ini sugesti dapat dan pasti mempengaruhi
anak didik, baik secara positif maupun negatif dalam hasil belajarnya. Dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu sugesti positif, maka respons positif anak
didik akan meningkat. Teori ini pun dapat diberlakukan dalam pendidikan
prenatal. Misalnya saja dengan memperlakukan ibu yang sedang mengandung dengan
baik, yakni memperhatikan/memenuhi kebutuhannya dengan sewajarnya, menumbuhkan
perasaan merasa disayang, diperhatikan, perasaan nyaman, dan sebagainya akan
memberikan kesan positif pada jiwa si ibu yang kemudian mengalir pada jiwa anak
yang dikandung.
Quantum Learning bahkan bisa mensugesti
kerja otak kanan. Proses kerja otak kiri yang selalu bersifat logis,
sekuensial, linear, dan mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, serta
cara berpikirnya yang sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal,
menulis, membaca, asosiasi auditorial, mendapatkan detail dan fakta. Dan
fonetik dapat disesuaikan dengan cara berpikir otak kanan yang bersifat acak,
tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara
untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran
yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola,
musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi.
Disamping
itu, penanaman pendidikan (jiwa) agama pada anak sudah dapat dimulai saat anak
dalam kandungan. Misalnya, dengan cara ibu rajin membuat sesajen, rajin
sembahyang (berdoa), membaca buku-buku agama dan sebagainya. Dengan demikian,
jiwa agama ini akan tertanam dan merasuk pada anak sejak awal, yang nantinya
dijadikan pedoman (pola anutan) dalam bertingkah laku selama mengarungi
kehidupannya. Anak yang masa kecilnya tidak mendapat didikan dan pengalaman
agama, maka kelak ia akan menjadi orang yang acuh tak acuh terhadap agama dan
cenderung mempunyai sifat negatif. “Sebaiknya jiwa agama itu mulai ditanamkan
ketika bayi masih dalam kandungan, yaitu yang dikenal dengan upacara
magedong-gedongan. Hal ini penting karena bayi sejak dalam kandungan sudah peka
terhadap getaran-getaran tertentu”( Ni Putu Suwardini, blog 2000).
Kenang-kenangan yang tidak dapat
dilupakan oleh seseorang anak sampai akhir hayatnya adalah kasih sayang seorang
ibu yang diterimanya sejak masih dalam kandungan, sampai ia dapat berdiri
sendiri, secara sadar maupun di bawah sadar. Kasih sayang ibu sejak bayi masih
dalam kandungan serta air susu ibu yang diterimanya setelah lahir adalah unsur-unsur
yang sangat penting yang merupakan penentu kehidupan seorang anak. Hal ini juga
disebutkan dalam kitab Slokantara. 52,”
Di waktu malam, Dewi Ratih atau bulanlah yang menjadi lampu alam, Di waktu
siang, Dewa Surya atau matahari lah yang menjadi lampu dunia, Dan di ketiga
alam, Dharmalah yang menjadi lampunya. Sedangkan dalam suatu keluarga, putra-putri
yang baik adalah menjadi cahaya lampunya”.
Dengan
demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah mengherankan
kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan spiritual
putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara Magedong-Gedongan atau Mitu Bulanin tadi hingga ia mencapai
dewasa. Karena
melaksanakan suatu upacara Yadnya ini merupakan suatu keharusan untuk penyucian
diri sebagaimana halnya disebutkan dalam dalam Manawa Dharmasastra. II .26 yang
menyatakan bahwa,
“
Waidikaih karmabhih punyair
Nisekadirdwijanmanam
Karyah sarira
samskarah pawanak pretya ceha ca
Pawanah pretya
ceha ca”
Terjemahan :
Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan
pada saat terjadi perbuahan dalam rahim ibu serta upacara kemanusiaan lainnya
bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dalam hidup ini
maupun setelah meninggal.
2. Upacara Magedong-Gedongan
. Magedong-gedongan berasal dan kata “gedong” yang berarti gua garbha. Gua artinya pintu yang dalam
atau pintu yang ada di dalam, garbha
artinya perut. Jadi, gua garbha
artinya pintu yang dalam, berada pada perut si ibu. Dalam hal ini yang dimaksud
kehidupan pertama itu adalah si Bayi. Untuk keselamatan bayi dalam perut ibu
inilah dilakukan upacara magedong-gedongan.
Upacara magedong-gedongan adalah
upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan yang berumur sekitar enam
bulan. Upacara megedong-gedongan ini dilaksanakan dengan maksud “pembersihan”,
pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya disertai pula dengan
pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang berguna di masyarakat dan
dapat memenuhi harapan orang tuanya. Fungsi upacara magedong-gedongan adalah sebagai penyucian terhadap bayi. Secara
lahiriah, upacara ini bermaksud memperkuat kedudukan bayi dalam kandungan agar
tidak gugur (abortus), dan secara
bathiniah agar sang bayi berbathin kuat sehingga setelah lahir dan besar nanti
menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Di Indonesia,
khususnya di Bali, upacara sebelum bayi itu lahir hanya dilakukan satu kali
yaitu magedong-gedongan atau mitu bulanin. Tetapi pada pemeluk Hindu
di India ada tiga macam upacara yang dilakukan.
Upacara pertama dinamai Garbhalambhana yaitu upacara yang
dilakukan setelah diketahui terjadinya konsepsi, pertemuan antara sperma suami
dengan ovum sang ibu. Tetapi karena agak sulit mengetahui pertemuan ini dan
adanya kemungkinan untuk gagal sebelum bertumbuh, maka lama-kelamaan upacara ini
ditinggalkan.
Setelah konsepsi terjadi selama
empat bulan, yaitu pada waktu jabang bayi mulai membuat gerakan awal, ada
upacara kedua yaitu yang disebut Pungsawana,
artinya dengan harapan bayi laki-lakilah yang akan lahir. Memang dari zaman
dahulu, keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki lebih dominan karena dengan
adanya anak laki-laki, keamanan keluarga akan lebih terjamin. Selain itu,
karena pada zaman dahulu, perjuangan untuk hidup itu perlu dipertahankan
mengingat strunggle for life itu
sangat menentukan.
Kemudian, setelah jabang bayi
berumur tujuh bulan, upacara Garbhadhana dilakukan.
Karena pada saat itu dianggap sudah ada ada hubungan badaniah dan kejiwaan
antara ibu dengan bayinya di kandungan. Di India upacara ini juga dinamakan Simantonnayana karena ada upacara
penyisiran rambut sang ibu oleh suaminya untuk menghindari kekuatan-kekuatan
negatif yang mungkin mengganggu kesehatan ibu dan anak itu.
Di Nusantara khususnya di Bali upacara bayi dalam kandungan hanya
dilakukan satu kali yaitu yang disebut dengan upacara magedong-gedongan. Upacara magedong-gedongan ini ditujukan
kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan yang pertama kali
dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Upacara ini dilakukan setelah
kandungan berumur lebih dari enam bulan, karena
menurut Lontar Kuna Dresthi kehamilan yang berumur di bawah
lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi
upakara manusa yadnya. Tujuan upacara
adalah untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak
menjadi orang yang berguna di masyarakat.
Adapun upacara pagedong-gedongan itu
pada pokoknya terdiri atas : byakala,
peras, daksina, ajuman, prayascita, pagedong-gedongan, sesayut pengambean atu
sesayut pemanahayu tuwuh. Banten pagedong-gedongan
ini merupakan simbolik dari perut ibu, yang menggambarkan si bayi beserta
saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti
simbolik, agar kandungan si ibu menjadi selamat, dan peliharaan keselamatan si
bayi menjadi kuat nidasi, serta
selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat
kelahirannya nanti.
3. Kelahiran Bayi
Dr.
Gardner dan Jewans dal;am bukunya Greek
Antiquitus menulis bahwa,” kelahiran bayi itu adalah merupakan kejadian yang
sangat mengesankan bagi orang-orang di zaman dahulu. Karena keindahannya maka
dianggaplah kejadian itu sebagai hal yang super-human. Dipercayainya pula bahwa
suasana itu mengundang banyak bahaya sehingga untuk menghindarinya
bermacam-macam tabu dan larangan diajukan”.
Dalam ungkapan Bali dikatakan bahwa
pada saat melahirkan itu “jiwa sang ibu seolah-olah tergantung pada sehelai
rambut” yang setiap saat bisa putus yang menyebabkan putus pulalah jiwanya.
Dalam Pustaka Atharwa Weda, Sukta 11,
ada 6 sloka yang berupa doa yang berhubungan dengan kelahiran bayi agar bisa
cepat dan selamat lahirnya.
Menurut
kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, janin yang ada di dalam kandungan
dipelihara dan dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya
berupa bajra, gada, mentang nagapasa, dan cakra. Pada saat anak lahir, ia
ditemani oleh empat saudaranya yang disebut dengan Catur Sanak, yaitu:
1).
Yeh nyom (air ketuban) adalah merupakan cairan yang
melindungi si bayi dari getaran luar maupun dalam, rupanya berbentuk cairan
atau disebut juga air ketuban. Setelah pecah air ketuban si bayi lahir
diikuti ari-ari.
2). Tamas/lamad
berupa lemak yang membungkus dan melindungi badan bayi.
3).
Darah/getih yang berfungsi mengedarkan sari-sari
makanan dari ibu ke bayi melalui tali pusar.
4). Ari-ari,
tempat melekatnya tali pusar yang berfungsi menyerap makanan.
Dari
penjelasan di atas telihat bahwa ari-ari memegang peranan yang penting dalam
kelangsungan hidup si jabang bayi, untuk itulah, pada saat bayi lahir, ari-ari mendapat
perlakuan khusus dan harus dibersihkan setelah lahir.
Setelah
si bayi lahir, ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagian kecil/sedikit menempel
pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari (berbeda pada masing-masing
bayi), kemudian ari-ari tersebut dikubur atau dalam masyarakat Bali disebut
dengan nanem ari-ari.
Dalam
upacara nanem ari-ari, selain menggunakan sarana upacara juga dipanjatkan doa
dengan mantra-mantra. Salah satu mantra yang sering diucapkan yaitu:
“Om sang Ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga
amertha sanjiwani, anget merthaning sarwa tumuwuh si bayi,
mangdene dirgayusa nutug tuwuh”
Terjemahan:
Atas karunia Ida sang hyang Widhi
serta Ibu Pertiwi yang merupakan sumber tenaga/energi,
yang menghidupkan dan memberi makanan bagi
seluruh makhluk
hidup, kami mohon agar si bayi mendapatkan usia panjang sampai usia tua.
Sesuai dengan isi doa yang digunakan
dalam upacara tersebut, maka fungsi upacara tersebut adalah untuk mengembalikan
ari-ari tersebut kepada alam/ibu pertiwi setelah selama si bayi dalam kandungan
dan telah selesai melaksanakan tugasnya untuk menjaga si bayi dan setelah
menyatu dan kembali kepada alam, ia akan tetap menjaga si bayi dalam
manifestasinya yang lain menurut keyakinan masyarakat hindu di Bali.
Kembali pada soal Jatakarma
(kelahiran bayi), ada perbedaan antara umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali dengan
umat Hindu di India. Di Bali, ucapan doa Atharwa Weda tidak dipakai tetapi
diganti dengan sesaji. Sedangkan di India masih mempergunakan mantra tersebut
serta ritual-ritual lain yang bertujuan memohon keselamatan bagi bayi serta
ibunya.
Upacara Jatakarama (kelahiran bayi) ini juga disebutkan
dalam kitab suci,
Garbhairhomairjatakarma
Caudamaunjini
bandhanah
Baijikam
garbhikam caino
Dwijanamapamrijyate (Manawa Dharmasastra. II. 27)
Terjemahan :
Dengan upacara membakar
bau-bauan harum pada waktu sang ibu hamil, dengan upacara jatakarma atau bayi
baru lahir, upacara cauda (gunting rambut pertama) dan upacara maunji bandhana
(upacara memberi kalung) maka kekotoran yang didapat dari orang tua akan
terhilang dari Tri Wangsa.
Pranabhi
vardhanat pusmo
Jatakarma vidhiyate,
Mantravat prasanam casya
Hiraniyamadhu sarpisam. (Manawa Dharmasastra II. 29)
Terjemahan:
Sebelum tali pusar dipotong, upacara
jatakarma (upacara baru lahir) harus dilakukan untuk bayi laki-laki, dan
sementara mantra-mantra suci diucapkan harus diberi makan madu dan mentega
dengan sendok emas.
Upacara Jatakarma (kelahiran bayi)
dilaksanakan sebelum “tali puser” (navel) bayi itu terputus yang disebut pemapag rare. Tujuan upacara Jatakarma ada
tiga macam, yaitu:
(1).
Medha-Jnana
Medha Jnanna merupakan upacara untuk
menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak. Oleh ayahnya, pada waktu upacara
itu, bayi itu diminumi sesendok kecil madu dan kalau ada minyak dari susu. Di
telinga kiri bayi itu ayahnya mengucapkan mantra Gayatri. Tujuan semua ini agar
bayi itu tumbuh dengan kecerdasan yang tinggi, rupa yang bagus, serta kesehatan
yang baik karena unsur madu dan minyak susu itu merupakan simbol kecerdasan, wajah dan kesehatan.
(2).
Ayusya
Ayusya yaitu upacara untuk umur
panjang bagi bayi itu. Pada telinga kanan, bapaknya mengucapkan mantra yang
isinya menyatakan antara lain;” Api adalah berumur panjang, melalui Dewa Api memohon
kepada Tuhan agar
anak itu dianugrahi umur panjang,: air adalah berumur panjang, melalui Dewa Air,
memohon kepada Tuhan agar anak itu dianugerahi umur panjang, begitu seterusnya
denngan menyebutkan sarana-sarana yang umurnya panjang, memohon panjang umur
kepada Tuhan.
(3).Kekuatan
Kekuatan juga dimohonkan dengan
pengucapan mantra-mantra kehadapan Tuhan, antara lain : Anggad-anggad sambhawasi hrdayadadhijayase, atma wai putranabhasi
sajiwa saradah bhawa. Terjemahan: Jadikanlah sekuat batu, jadikanlah sekuat
besi baja, jadikanlah sekuat emas, anak kami, ya Tuhan, semoga menganugrahi
kehidupan seratus tahun.
4. Setelah Bayi Lahir
Pada
umat Hindu di Bali, ada beberapa upacara terhadap bayi itu mulai dari berumur
tiga hari, lalu berumur dua belas hari, lalu berumur empat puluh dua hari atau
satu bulan tujuh hari. Upacara bayi berumur tiga hari disebut Kepus Puser
(lepasnya puser bayi), karena memang biasanya puser atau navel itu akan lepas
dalam tiga hari. Namun hal ini tidak
bersifat tetap, karena ada bayi yang kepus puser dalam waktu lima atau tujuh
hari Upacara
ini juga disebut dengan upacara ngelepas Aon, yang artinya melepaskan puser itu
dengan Aon (abu dapur). Sebutan ini dipakai karena di zaman dahulu melepaskan
atau memotong tali puser itu dilakukan secara primitif yang kelihatannya tidak
Hygenik. Untuk memotong tali puser itu terlebih dahulu puser itu
digiling-giling dengan abu dapur yang dicampur dengan garam. Tali puser itu
diikat dengan benang menjadi tiga ruas. Setelah tali puser itu menjadi lembut
dan tipis lalu dipotong pada ruas yang kedua dengan sembillu (pisau dari bambu
yang di Bali disebut ngaad) dengan beralaskan kunir sampai satu ruas sampai
satu ruas dari ikatan puser yang lepas. Cara pemotongan ini nyatanya tidak
menyebabkan infeksi walaupun dipotong dengan sembilu dengan bantuan abu dapur
yang dicampur garam serta kunir.
(Sudharta, Tjok Rai. 2006: 21-22)
Ketika
puser bayi telah lepas (kepus puser), puser si bayi dibungkus dengan secarik
kain yang baru atau sukla lalu dimasukkan kedalam tipat kukur disertai dengan
“anget-anget”, seperti mesui, sepet-sepet, jangu dan lain-lainnya. Kemudian di
gantungkan di tempat tidur si bayi. Mulai saat itu si bayi dibuatkan “ kumara”
(sebuah pelankiran) yang digantungkan di atas tempat tidur, sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Kumara atau sering
juga disebut Sang Hyang Panca Kumara. Menurut mitoligi (Lontar Siwagama) Sang Hyang Kumara adalah salah satu putra Dewa Siwa. Untuk menyelamatkan Sang Hyang Kumara agar tidak
bisa dibunuh oleh kakaknya yaitu Dewa Gana, maka Sang Hyang Kumara dikutuk oleh
Dewa Siwa sehingga tetap menjadi kecil (bayi) dan di tugaskan sebagai pengasuh
bayi (anak-anak) sampai berumur “ a-kupak” (meketus).
Upacara “Kepus Puser” dilaksanakan
pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi. Dengan lepasnya
tali puser
secara jasmaniah si bayi sudah bersih (tidak ada yang menempel di pusernya
seperti sebelumnya) dan secara rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh Catur
Sanak.
Setelah
bayi berumur 12 hari diadakan upacara
yang dinamakan Bajang Colongin atau ngerorasin, yang bertujuan untuk
memperkuat kedudukan Atman atau Roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan
badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu yang dipengaruhi
oleh Saudara Empat atau Catur Sanak. Dengan Upacara ini diusahakan untuk
membersihkan Catur Sanak itu selain memberi nama baru. Membersihkan dalam hal
ini bukan berarti dihilangkan, karena menurut cerita rakyat tentang Ketatwaning Janma mengenai peranan Catur
Sanak, pada saat bayi lahir, Catur Sanak lah yang membantu bayi keluar atas
permintaan bayi tersebut yang meminta tolong kepada Catur Sanak agar
membantunya keluar dengan selamat dan berjanji tidak akan melupakan Catur Sanak
itu dalam hidupnya sampai dewa maut memanggilnya ke alam baka. Begitu pula dijelaskan dalam lontar Anggastyaprana yang menyebutkan si bayi telah berjanji tidak akan
melupakan ke empat saudaranya itu apa bila ia ditolong untuk mencari jalan
keluar atau lahir. Itulah sebabnya hubungan erat antara
bayi sampai dewasa dengan Catur Sanaknya tidak boleh dilepaskan. Tempatnya
boleh terpisah secara alamiah tetapi hubungan spiritual antara mereka tetap
erat sehingga mereka dapat saling membantu jika diperlukan. Kalau ada upacara
yang ditujukan untuk sang bayi, maka Catur Sanak itu tidak bisa dilupakan.
Pada
saat upacara bayi berumur 12 hari atau disebut juga ngerorasin, saat dimana
bayi itu disucikan dengan air penglukatan, hal yang sama harus dilakukan juga
terhadap Catur Sanak itu. Dimana pada waktu baru lahir bersama bayi itu empat
saudara itu bernama Bhuta Nyom, Bhuta
Rah, Bhuta Ari-Ari dan Bhuta Tabunan
maka setelah dibuatkan upacara ini namanya diganti menjadi : Angga Pati, raja Pati, Baras Pati dan Baras Pati Raja. Begitu pula pada bayi
iu haruslah dibuatkan nama baru. Jadi, bagi umat Hindu di bali, pemberian nama
untuk bayi kalau bayi itu sudah berumur 12 hari. Di India, pemberian nama itu
disebut dengan Namakarana. Pada saat
itu dinyalakan sejumlah lilin atau potongan lidi berisi kapas dibasahi dengan
minyak yang disulut api (di Bali disebut linting.
Jumlah linting ini sesuai dengan urip hari kelahiran bayi itu. Pada setiap
linting digantungi daun rontal atau kertas yang ditulisi nama-nama yang
disiapkan oleh orang tuanya. Api linting mana yang paling lama hidupnya atau
padamnya paling akhir, maka nama yang tergantung pada linting itulah nama yang
diberikan kepada bayi itu. Hal demikian dilakukan pada zaman dahulu. Sekarang,
pemberian ataupun penambahan atau pergantian nama itu dilakukan tidak menurut
ketentuan ini lagi. Begitu bayi lahir nama sudah disiapkan.
Tetapi
di India pemberian nama itu sangat penting artinya karena nama itu bisa membawa
kebaikan maupun kejelekan bagi yang memakainya.
Upacara pemberian nama itu disebut Namakarana
yang dilakukan pada bayi berumur 10 atau 12 hari juga sebagaimana di Bali.
Kembali
kepada upacara yang dilakukan umat hindu di Bali yang berumur 12 hari, ada yang
menamakan upacara Bajang Colong. Dinamakan
demikian karena ada sesajen yang ditujukan kepada Bajang Agung, Bajang Papah, Bajang Pusuh, Bajang Kuskusan, Bajang
Kukugan dan lain-lainnya. Sebagaimana halnya dengan Catur Sanak, Bajang juga mempunyai peranan dalam
membantu Catur Sanak dalam tugas memperlancar kelahiran sang bayi. Tetapi
tugasnya sangat terbatas dan tugas itu selesai sampai waktu sang bayi berumur
12 hari. Kalau tidak diberi sesajen pada waktu 12 hari itu, sebagai upacara
perpisahan, mereka (Bajang) bisa mengganggu si bayi. Bajang ini tidak mempunyai
hubungan spiritual terhadap bayi, berlainan dengan halnya Catur Sanak yang bisa
dimintai tolong kalau si bayi memerlukan lagi, kalau mendapat gangguan non
fisik. Upacara bayi berumur 12 hari
ini termuat dalam sastra yang menyatakan bahwa:
Namadheyam
dasamyam tu
Dvadasyam vasya karayet,
Punye tithau muhurte va
Naksatre va gunanvite (Manawa Dharmasatra II.30)
Terjemahan
;
Kemudian
hendaknya orang tua melakukan upacara namadheya
(upacara pemberian nama) pada umur 10 atau 12 hari setelah
kelahirannya, atau pada waktu hari baik dalam kedudukan “mhurta” dibawah
bintang-bintang yang membawa kebahagiaan.
Di beberapa daerah di Bali, setelah memperingati hari
yang ke 12 dari kelahiran si bayi, akan dilakukanlah apa yang disebut “
ngaluang atau mepetuwun atau ngeluasan.” Maksudnya adalah untuk menanyakan
kepada Dukun atau Balian yang bisa berhubungan atau menurunkan Sang Pitara,
siapa kiranya yang menjelma kepada si bayi dan apa permintaannya.
Sejak
bayi lahir, semua upacara ditujukan untuk keselamatan bayi karena berpisah
dengan Catur Sanak dan Bajangnya. Setelah bayi itu berumur 42 hari (di Bali
dinamai upacara satu bulan tujuh hari) barulah ada upacara yang ditujukan
kepada bayi dan orang tuanya. Upacara
ini dinamakan Kambuhan. Kalau upacara
terdahulu adalah membersihkan bayi dari kekotoran yang dibawa dari kandungan
ibunya serta memisahkan dengan Catur Sanak dan Bajangnya, maka upacara Kambuhan ini adalah upacara pembersihan
orang tua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya. Karena sebelum bayi berumur
42 hari, orang tua terutama sang ibu dianggap”kotor” sehingga belum
diperkenankan masuk ke tempat suci. Mereka dianggap Cuntaka atau “kotor secara kejiwaan”. Karena selama waktu itu
mereka tidak pernah bisa lepas dari memikirkan keselamatan bayinya, sehingga tidak
bisa memusatkan pikiran pada hal-hal atau aktifitas yang memerlukan kesucian
bathin. Setelah menjalani “karantina” selama 42 hari, kejiwaan sang ibu sudah
bisa stabil lagi dan untuk menandakan “lepas karantina” ini mereka diupacarai
dengan upacara penyucian.(Sudharta,
Tjok Rai. 2006: 25-26)
Upacara
Kambuhan disebut juga “Upacara Macolongan”. Seperti yang telah diuraikan bahwa
bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan bayi dalam kandungan sangat dibantu oleh
empat unsur beserta kekuatannya yang sering disebut “Catur Sanak” berati empat
saudara (darah, lamad, yeh nyom, dan ari-ari). Nama dari empat saudara ini akan
berganti-ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi sehingga akan terdapat banyak
nama untuk mereka.
Dari
beberapa sumber antara lain mantram Pebayangan
: disebutkan nama Sang Karsika, Sang Garga, Sang Meitri, Sang Kurusya dan Sang
Pretenjala yang sering juga terdapat dalam mantra-mantra dan lontar-lontar yang
dibuktikan dengan nama-nama Sang Kala, Banaspati raja, Sang Kala Anggapati.
Sang Kala Banaspati dan Sang Kala Mrajapati yang semuanya tidak lain adalah
Sang Catur Sanak. Disebut juga bahwa dari Catur Sanak adalah “nyama bajang”
Yang
dimaksud dengan “nyama bajang” adalah semua kekuatan-kekuatan yang membantu Sang
Catur Sanak di dalam kandungan, dalam proses pertumbuhan penyempurnaan jasmani
serta keselamatan bayi. Menurut penjelasan beberapa sulinggih “nyama bajang”
banyaknya 108 salah satunya diantaranya bernama “bajang colong”. Dari sinilah
mungkin munculnya istilah upacara macolongan tersebut.
Setelah bayi berumur 42 hari (satu
bulan tujuh hari sejak kelahirannya) dianggap sudah waktunya mengembalikan si
nyama bajang itu ke tempat asalnya karena dianggap sudah tidak mempunyai tugas
lagi bahkan kadang–kadang sering mengganggu bayi. Sebagai penggantinya adalah
dua ekor ayam yaitu seekor ayam jantan dan seekor ayam betina yang dinamai
“Pitik”. Pada umumnya pitik ini tidak boleh disembelih demikian pula anaknya
yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau disembelih karena dianggap
sebagai pengasuh bayi.
Dalam memperoleh pitik sering
terjadi kekeliruan yaitu dengan jalan mencuri yang disebut juga nyolong.
Mungkin dari sinilah “nyama bajang”yaitu “bajang colong” dan juga adanya nama
bajang colong tersebut diatas.
Disamping
upacara-upacara yang telah disebutkan diatas, maka pada saat ini dilakukan pula
upacara Karnawedha “melubangi daun telinga”. (Putra, Ny. I gst Ag.Mas.1987:19).
Rsi Susruta (ahli pengobatan India yang hidup sekitar abad ke-6 sebelum Masehi)
menyatakan bahwa dengan melubangi daun telinga sang bayi, maka bayi itu akan
terlepas dari penyakit hydrocele dan penyakit hernia. Kapan itu dilaksanakan?
Rsi Garga menganjurkan acara ini dilakukan pada waktu bayi berumur enam, tujuh,
delapan atau 12 bulan. Rsi Sripati menganjurkan agar dilakukan sebelum bayi itu
tumbuh gigi, sedangkan Rsi Katyayana malah menganjurkan pada usia enam atau
tujuh tahun. ( Sudharta, Tjok Rai. 2006:32-33)
5. Bayi Berumur Tiga Bulan
Setelah bayi berumur tiga bulan
dikenal dengan upacara bernama Tigang
sasih. Kalau di India dinamakan
upacara Niskarmana. Ini tidak berarti
bahwa kata Niskarmana mempunyai arti
bayi berumur tiga bulan. Kata Niskarmana
ini artinya dalam bahasa inggris adalah first
outing atau terjemahan bebasnya “
membawa bayi keluar untuk pertama kalinya”. Untuk apa? Untuk melihat matahari.
Sedangkan untuk melihat bulan dilakukan setelah bayi berumur empat bulan. Jadi
ada perbedaan antara melihat matahari dan melihat bulan. Ini adalah simbolis
dari kondisi bayi untuk beradaptasi dengan udara siang dan udara malam di luar
rumah. Pada saat inilah sang bayi boleh untuk pertama kalinya dibawa keluar
rumah. Ini biasanya bersamaan dengan acara pertama kalinya bayi itu diberikan
makanan lembek, biasanya pisang di samping susu ibunya. Upacara
Niskarmana termuat dalam satra yang menyebutkan bahwa:
Caturthe
masi katavyam
Sisorniskramanam grhat,
Sasthe nna prasanam masi
Yad vestam mangalam kule.(Manawa Dharmasastra II. 34)
Terjemahan
:
Pada bulan ke empat harus dilakukan
upacarn niskramana (bayi keluar untuk pertama kalinya) bagi bayi dan pada umur enam bulan
dilakukan upacara annaprasana (upacara otonan) dan wajib pula melakukan upacara yang
biasa dalam keluarga itu.
Upacara nelu bulanin atau tigang
sasih yaitu upacara yang dilakukan 105 hari setelah bayi itu lahir. Upacara
tiga bulanin ini hanya satu kali dilaksanakan sebagai upacara perpisahan dengan
Empat saudara yang mengikuti dan menolong bayi itu pada saat dilahirkan. Perpisahan
ini hanya melepaskan unsur negatif yang dibawa oleh ke Empat Saudara bayi itu,
tetapi unsur kejiwaannya masih tetap dekat dan bisa membantu bayi itu sampai usia tuanya.
Sesajen
dalam upacara ini di bagi atas tiga macam dan di letakkan pada tiga tingkat
yaitu atas , tengah dan bawah. Tingkat atas ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa, tingkat tengah ditujukan pada manusia (bayi), dan tingkat bawah ditujukan
kepada unsur bhuta yang akan di somyakan
(Empat Saudara Bayi). Adapun sesajen yang dipakai dalam upacara ini adalah :
Tingkat Atas :
Sesajen Bayuan, lambang energi atau
kekuatan. Sesajen Pengulapan, lambang
daya magnit yang menarik kekuatan positif bagi bayi. Sesajen pengambean, lambang mempersilahkan kekuatan positif untuk
menetap pada bayi. Wangsuh Pada,
yakni air suci pembasuh kaki Tuhan sebagai rahmat dari Tuhan untuk bayi. Kain Tenun, lambang kekuatan positif
yang merangkul bayi selama hidupnya.
Tingkat Tengah : Sesajen
Jejangan, terdiri dari nasi dan lauk pauk serta dedaunan sebagai lambang
alam kecil atau tetamanan dimana bayi sebagai manusia mulai saat itu sudah bisa
berjalan menikmati alam lingkungan di sekelilingnya. Sesajen Sambutan, terdiri dari beras, kelapa, benang tiga warna dan
penyejeg. Benang tiga warna itu ialah
warna merah, hitam dan putih yang melambangkan Tri Murti yaitu Dewa Brahma yang
simbolisasi warna beliau adalah
merah sebagai manifestasi Tuhan
Maha Pencipta, Dewa Wisnu yang simbolisasi warna beliau adalah hitam sebagai
manifestasi Tuhan Maha Pelindung dan Dewa Siwa yang simbolisasi warna
beliau adalah putih sebagai manifestasi Tuhan Maha Penyempurna, melebur
untuk membangun kembali yang lebih sempurna. Penyejeg adalah lambang bayi yang diupacarai, Penyejeg dibuat dari janur. Secara menyeluruh Sesajen Sambutan ini mengandung makna menyambut kedatangan lima
unsur alam (Panca Maha Bhuta) yakni unsur padat, cair , panas, angin dan ether.
Unsur-unsur tersebut diharapkan bersatu dari segala arah dan memperkuat bayi
agar bayi bisa mempunyai kulit yang kuatnya seperti tembaga, mempunyai otot
bagai kawat serta tulang belulang yang bagaikan besi baja.
Tingkat Bawah : Sesajen Bajangan,
sebagai lambang jasad empat saudara bayi yang akan disomyakan dari bayi yang akan dilambangkan dengan batu, telur, arang
dan labu yang masing-masing dinamakan Sang
Malipa, Malipi, Bapa Bajang dan Ibu Bajang. Sedangkan bayi itu sendiri dilambangkan dengan jantung
pisang yang disebut Bajang Colong. Sesajen Kumara, sebagai lambang jiwa
yang menitis pada bayi yang dilambangkan dua tumpeng kecil dari nasi. Walaupun Sesajen Kumara ini masuk dalam sesajen
tingkat bawah tetapi nantinya di rumah orang tua bayi itu sesajen diletakkan di
atas tempat tidur bayi. Sedangkan Sesajen
Ari-Ari, lambang dari placenta yang nantinya diletakkan di arah kaki tempat
tidur bayi, atau di atas penutup kubur ari-ari bayi.(Sudharta, Tjok Rai.2006: 30-31)
5. Bayi Berumur Enam Bulan
Bayi yang sudah berumur enam bulan
disebut satu weton. Kata weton berasal dari kata wetuan menjadi weton menjadi
oton. Kata wetu artinya keluar atau lahir. Jadi upacara weton ialah peringatan
hari kelahiran tepat pada waktu tibanya hari ( Sapta wara), Pancawara dan
pawukon yang sama datangnya setiap 6 bulan dalam perhitungan Bali/jawa atau 210
hari yaitu 30 x 7 hari. Bagi umat Hindu hari kelahirannnya atau otonannya akan
datang setiap 210 hari dan dirayakan secara keagamaan.
Dalam kehidupan umat Hindu dalam hal
kelahiran, tidak pernah terlepas dari perhitungan hari dalam seminggu (Sapta
Wara), hari pasaran (Panca Wara) dan Pawukon yang berjumlah 30 wuku yang
masing-masing berumur 7 hari mulai dari Minggu.
Ketiga
hal ini mempunyai pengaruh dan efek yang berbeda dalam kehidupan manusia yang
ditentukan dengan hari kelahirannya. Masing-masing mempunyai pengaruh positif
dan kekuatan negatif. Umat Hindu di Bali pada dasarnya tidak begitu dipengaruhi
oleh tanggal dan bulan masehi ini lebih belakang dari perhitungan hari pasaran
dan pawukon itu. Dengan mengenal saat-saat kelahirannya, baik secara Hindu
ataupun secara masehi, tujuannya adalah untuk mengetahui keadaan positif dan
negatif dari masing-masing orang dengan tujuan untuk menumbuhkan yang positif
semaksimal mungkin dan mengecilkan yang negatif semaksimal mungkin dalam hidup
ini.
Setelah diuraikan mengenai pawukon
dan hari serta pasarannya mungkin akan ada pertanyaan apa hubungannya dengan Manusa
Yadnya yaitu : 6 bulan umur bayi atau satu weton? Bagi Umat Hindu bukan tanggal
dan bulan lahir yang diperhitungkan, tetapi hari dan pasarannya serta wuku yang
diperhitungkan.
Upacara weton yang dilakukan setiap
6 bulan sekali (dalam hitungan pasaran) tidak lain maksudnya untuk memohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan bayi itu. Bukan hanya bayi saja
yang dimohonkan keselamatannya, tetapi semua ciptaan-Nya yang lain yaitu
tumbuhan dan hewan. Weton tidak hanya utuk manusia saja namun tumbuhan dan
hewan pun memiliki weton.
Khusus untuk manusia, upacara weton
dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: dari wetonan I sampai weton ke-III
merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan dari wetonan ke – IV sehingga sebelum
tanggal gigi (lebih kurang umur 6 tahun) diharapkan untuk dilaksanakan. Wetonan
sejak tanggalnya gigi sampai wetonan selanjutnya dianjurkan untuk dilaksanakan.
Upacara ngotonin memiliki makna yang luas melingkupi
keseluruhan aspek yang dibutuhkan dalam memperingati hari kelahiran. Pertama,
aspek ritual dengan media upakara/banten. Ngotonin sebagai pengamalan ajaran
yajna dengan makna sebagai ungkapan angayu bagia atas waranugraha-Nya berupa
kerahayuan sehingga berkesempatan mendapatkan tambahan umur. Kedua, aspek
spiritual dengan media doa, japa, mantra yang mengiringi upacara ngotonin merupakan nilai tinggi yang
didapat bagi seseorang dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhaktinya kepada
Hyang Widhi, dan Bhatara-Bhatari. Dan ketiga, aspek seremonial berupa
kemeriahan atau kesemarakan
di mana bersama anggota keluarga bersama-sama menikmati “surudan banten
ngotonin” merupakan peristiwa yang penuh nuansa agamais.
Bagi yang baru menginjak umur satu
weton, sesajen yang digunakan bernama dapetan.
Demikian pula dengan bayi yang bari lahir juga dibuatkan sesajen yang namanya dapetan yang ditempatkan atau diarahkan
ke kepala bayi yang sedang tidur. Wujud penyeneng berbentuk sampian dengan
keistimewaannya dengan menggunakan tiga tangkih (seperti piring kecil yang
terbuat dari daun kelapa) yang dipersatukan. Masing-masing tangkih itu berisi :
suatu lupatan daun dadap dan beras/tepung (dinamakan tepung tawar), serasik
(beras/bija), dan tetebus (benang).
Penyeneng ini biasa beralaskan
seikat uang kepeng bolong (satu ikat uang kepeng bolong hitam jumlahnya 200
buah) dan beras yang ditaruh pada sebuah bokor. Artinya, penggambaran atau
perwujudan doa menciptakan agar orang yang diupacarai itu mendapatka kelanggengan urip, kenikmatan dan
kesejahteraan hidup panjang dan lengkap. Memperhatikan bahan-bahan dan terutama
mendengar ucapan doa-doa ketika mengadakan upacara weton kiranya dapat diartikan sebagai berikut:
Tepung tawar yang terbuat dari
irisan daun dapdap dengan tepung beras, aslinya adalah bahan-bahan obat.
Digunakan pada awal upacara. Hal ini jelas sebagai suatu perwujudan dari doa
cipta ingin membersihkan dan menyehatkan yang diupacarai.
Sesarik
yang bahannya dari beras , diumpamakan
sebagi sarana hidup. Di jalankan setelah tepung tawar dan diperciki tirta dengan hantaran doa: semoga panjang umur, serasi, sejahtera
selalu, dan selalu dirahmati serta dikaruniai rejeki halal dari Tuhan Yang maha
Esa.
Tetebus yang berwujud benang.
Mula-mula sehelai benang digelangkan pada pergelangan tangan kanan disertai
dengan doa “ semoga memiliki kekuatan seperti baja, besi weresani, berurat
kawat, bertulang besi”. Semuanya ini melambangkan doa untuk kekuatan dan
keberanian. Tetebusan ke dua yaitu sehelai benang diletakkan di atas ubun-ubun
diantar doa-doa: “ menjunjung ancak, menjunjung kroya, menjunjung atama-atma
juwita seratus satu”. Maksud dari “tetebusan” ialah : benang dipergelangan
tangan sebagai lambang agar dengan usaha sendiri mendapatkan kecukupan sandang
pangan dan papan yang ditunjukkan pada badan wadag. Benang yang ditaruh di
ubun-ubun ialah memperingatkan betapa beratnya tugas-tugas di dunia ini, yang
laksana menjunjung pohon ancak (pohon bodoh, dan kroya (jenis pohon beringin)). Berat tetapi bernilai mulia dan
agung. Kedua pohon-pohon itu dianggap
keramat dan bertuah bagi orang Hindu dan biasa digunakan sebagai bahan sesajen
serta alat-alat upacara.
Serangkaian dengan upacara otonan ini juga dilakukan
upacara “Megundul” yang bertujuan untuk membersihkan “Siwa-Dwara nya”
(ubun-ubun). Namun, ada
beberapa pendapat berbeda, pada umur berapa upacara ini dilakukan. Tetapi umat
Hindu di Bali menyelenggarakan acara “penggundulan” itu pada waktu weton itu
juga, yaitu pada waktu bayi berumur enam bulan. (Sudharta, Tjok Rai. 2006:33)
Demikianlah seseorang, yang hidupnya
menjadi beban yang berat tetapi mengandung penuh arti yang agung dan luhur.
Perlu ditambahkan disini bahwa bersama dengan upacara-upacara wetonan ini, Catur
Sanak si bayi (empat unsur yang lahir bersama-sama dengan si bayi) juga
disucikan dan diganti namanya masing-masing yaitu : Sang Garga, Sang Metri,
Sang Kurusya dan Sang Pretanyala. Mulai saat wetonan pertama ini wetonan ini
saudara empat si bayi dimohonkan oleh sang pandita agar pulang kekahyangannya
masing-masing, dan mulai saat inilah tidak ada lagi upacara-upacara untuk
mereka berempat itu. Karena mereka sudah tidak dianggap ada di dunia ini, walau
masih bisa dihubungi sewaktu diperlukan.
Hari pasaran dan waktu dari weton
itu dianggap penting oleh umat Hindu. Khususnya dari suku Bali, karena ia
memiliki arti dan tuntutan tertentu. Kelahiran itu tidak bisa ditentukan secara
tepat oleh manusia. Manusia atau dokter ahli pun bisa meleset menentukan kelahiran
seorang bayi., karena yang menentukan ialah Tuhan sendiri. Karena semua itu
rahasia besar Sang Maha Pencipta.
Borgata Hotel Casino & Spa - MapYRO
BalasHapusThe 남양주 출장안마 Borgata Hotel Casino 거제 출장안마 & Spa is the place where Atlantic City has been for decades. The iconic resort 경기도 출장샵 was opened in 1996 and 천안 출장안마 serves 김해 출장마사지 as a gateway to the